Makalah Filsafat Ilmu Ontologi Ilmu
Segala puji bagi Allah yang Maha Mengetahui dan Maha
Bijaksana yang telha memberi petunjuk agama yang lurus kepada hamba-Nya dan
hanya kepada-Nya lah kita berlindung. Sholawat serta salam semoga selalu
tercurahan kepada Nabi Muhammad SAW yang membimbing umatnya dengan suri
tauladan yang baik.
Dan segala syukur kehadiran Allah SWT yang telah memerikan
anugerah, kesempatan dan pemikiran
kepada kami untuk dapat menyelesakan makalah ini. Makalah ini merupakan
pengetahuan tentang ontologi ilmu. Semua materi telah terangkum dalam makalah ini, agar pemahaman terhadap
materi lebih mudah serta lebih singkat.
Sistematika makalah ini dimulai dari pengantar yang
merupakan apersepsi atas materi yang telah dan akan dibahas dalam makalah
tersebut. Selanjutnya membaca akan masuk dalam inti pembahasan dan diakhiri
dengan kesimpulan dari makalah ini. Diharapkan pembaca dapat memahami tentang
ontologi ilmu berdasarkan materi yang kami sajikan. Kami selaku penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu proses pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab 1. Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Manfaat
Bab II. Pembahasan
A. Konsep Ontologi
Ilmu
B. Aspek dalam Ontologi Ilmu
C. Fungsi dan Manfaat
Ontologi Ilmu
D. Ruang Lingkup Ontologi Ilmu
E. Asumsi Dasar Ontologi Ilmu
F. Metode Ontologi Ilmu
G. Aliran Ontologi Ilmu
H. Kedudukan dan
Hubungan Ontologi dengan Filsafat Pendidikan
BAB III. Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik
secara substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari
peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat.
Filsafat telah berhasi mengubah pola pemikiran bangsa Yunani dan umat manusia
dari pandangan mitosentris menjadi logosentris. Filsafat itu meliputi berbagai macam permasalahan. Adapun
masalah utama yang harus kita bahas adalah masalah kenyataan, tentang realitas,
tentang yang nyata dari sesuatu. Yang menjadi titik persoalan ialah kita harus
memecahkan permasalahan realitas secara tepat, karena konsepsi kita tentang
realitas mengontrol pertanyaan kita tentang dunia ini. Dan tanpa adanya
pertanyaan, kita jelas tidak akan memperoleh jawaban dari mana kita nantinya
akan membina kumpulan ilmu pengetahuan yang kita miliki dan menetapkan disiplin
tentang masalah – masalah pokoknya.
Filsafat seperti yang kita ketahui memiliki tiga cabang
yaitu, Ontologi, Epistemologi, Aksiologi. Mempelajari ketiga cabang tersebut
sangatlah penting dalam memahami filsafat yang begitu luas ruang lingkup dan
pembahasannya. Ketiga teori diatas sebenarnya sama-sama membahas tentang ilmu,
hanya saja mencakup hal dan tujuan yang berbeda. Ontologi membahas tentang
apa objek yang kita kaji, bagaimana wujudnya yang hakiki dan hubungannya dengan daya pikir,
Epistemologi membahas tentang bagaimana mendapat pengetahuan, bagaimana kita
bisa tahu dan dapat membedakan dengan yang lain, sedangkan Aksiologi membahas
tentang guna pengetahuan, klasifikasi, tujuan dan perkembangannya.
Akan tetapi untuk sekarang ini kami akan menitik-beratkan
pembahasannya kepada masalah ontologi yang mana membahas tentang apa objek yang
kita kaji, bagaimana wujudnya yang hakiki dan hubungannya dengan daya pikir.
Ontologi adalah ilmu yang mengkaji apa hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah
yang sering kali secara populer banyak orang menyebutnya dengan ilmu
pengetahuan, apa hakikat kebenaran rasional atau kebenaran deduktif dan
kenyataan empiris yang tidak terlepas dari persepsi ilmu tentang apa dan bagaimana.
Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang dapat dipikirkan
manusia secara rasional dan bisa diamati melalui panca indera manusia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka dapat diperoleh
rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana konsep
ontologi ilmu?
2.
Apa saja aspek dalam ontolog ilmu?
3.
Apa fungsi dan manfaat
ontologi ilmu?
4.
Apa saja ruang lingkup
dari ontologi ilmu?
5.
Bagaimana asumsi dasar ontologi ilmu?
6.
Bagaimana metode ontologi
ilmu?
7.
Apa saja aliran
dalam ontologi ilmu?
8.
Bagaimana kedudukan dan peran ontologi
dalam struktur ilmu?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah
maka tujuan penyusunan makalah sebagai berikut.
1.
Mengetahui konsep ontologi ilmu
2.
Mengetahui fungsi dan manfaat ontologi
ilmu
3.
Mengetahui aspek dalam ontologi ilmu
4.
Mengetahui ruang lingkup
dari ontologi ilmu
5.
Mengetahui asumsi dasar ontologi
ilmu
6.
Mengetahui metode ontologi
ilmu
7.
Mengetahui macam-macam aliran ontologi ilmu
8.
Mengetahui kedudukan dan peran ontologi
dalam struktur ilmu
D.
Manfaat
Menambah wawasan bagi mahasiswa khususnya dalam materi ontologi ilmu
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Ontologi Ilmu
Menurut Sudibyo, dkk (2014: 44) kata ontologi berasal dari
bahasa Yunani yaitu ontos yang memiliki arti sesuatu yang
berwujud, ada, atau keberadaan dan logos berarti
studi atau ilmu tentang. Ontologi merupakan ilmu atau pengetahuan tentang apa
wujud atau tentang apa yang ada. Ontologi sering kali dikaitkan dengan
metafisika. Jika pemikiran diibaratkan dengan roket yang meluncur ke
bintang-bintang, menembus galaksi dan awan maka metafisika adalah landasan
peluncurnya. Bermula dari persoalan metafisika inilah kemudian muncul spekulasi
filsafati tentang hakikat dunia dan segala isinya, Kaitannya dengan hal ini,
Biyanto (2915: 139) memaparkan manusia
sebagai makhluk yang bernalar senantiasa memiliki hasrat ingin tahu yang sangat tinggi, lalu memunculkan
pertanyaan ontologi apa hakikat kenyataan
ini yang sebenar-benarnya. Pertanyaan ontologis itulah yang menjadi pemicu
munculnya aliran ontologi dalam filsafat karena menanyakan hakikat yang ada.
Ontologi menurut istilah merupakan ultimate reality baik berbentuk jasmani/konkret maupun
rohani/abstrak (Bahtiar dalam Suedi, 2016: 82). Ontologi membahas tentang yang
ada yang sifatnya univerasal dengan menampilkan pemikiran yang universal.
Ontologi berusaha mencari inti yang termuat di dalam setiap kenyataan yang ada.
Ontologi menurut Suriasimatri dalam Suedi (2016: 82) membahas mengenai apa yang
ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu atau dengan kata lain suatu
pengkajian mengenai teori tentang “ada” dimana telaah tersebut menjawab
pertanyaan seperti, apa obyek yang ditelaah, bagaimana wujud hakiki dari objek
tersebut, dan bagaimana hubungan antara objek dan daya tanggap manusia yang
dapat menghasilkan pengetahuan.
Lebih lanjut Sudibyo, dkk (2014: 44) menjelaskan bahwa dalam ontologi kita mengadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada. Hakikat adalah realitas, artinya kenyataan tentang yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan tentang sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau kenyataan yang menipu juga bukan kenyataan yang sifatnya berubah-ubah. Pembahasan ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” dan merupakan ilmu mengenai esensi suatu benda.
Berpikir ontologis sampai pada kesadaran segala sesuatu yang hakiki. Sehingga karena itu, segala sesuatu dapat dimengerti sebagai entitas (sesuatu yang memiliki keberadaan yang unik dan berbeda). Misalnya, benda-benda langit dan benda benda bumi masing-masing dipahami sebagai entitas. Tumbuhan, hewan, dan manusia masing- masing dimengerti sebagai entitas. Kesadaran manusia tentang suatu hal juga dimengerti sebagai entitas. Pentingnya berpikir kategoris dalam dalam ontologi dapat mengatasi segala kerumitan yang ada pada kehidupan alam semesta. Analisis terhadap kenyataan dan terhadap semua yang ada di alam semesta dapat melahirkan klasifikasi atau taksonomi. Berdasarkan cara berpikir tersebut, antologi dimengerti sebagai “kekhususan dan konseptualisasi”. Sehingga ontologi merupakan cabang dari ilmu filsafat yang mengemban tugas melahirkan seperangkat konsep tentang definisi-definisi yang berkenaan dengan suatu hal (Gruber dalam Sudibyo, dkk (2014: 46).
Masing-masing cabang pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan
ilmiah, menjawab apanya, bagaimananya dan mengapanya atau untuk apanya sendiri,
dalam arti masing- masing pengetahuan memiliki ontologi, epistimologi dan
aksiologinya sendiri. Kalau ontologi dalam kefilsafatan merupakan cabang dari
filsafat yang menjawab pertanyaan yang meliputi segala sesuatu yang ada dan
mungkin ada, misalnya apa alam semesta beserta hakikatnya, apa manusia itu dan
sebagainya, sedangkan ontologi ilmu pengetahuan ilmiah menjawab pertanyaan
tentang segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, tetapi yang dapat dijangkau
oleh akal/penalaran dan dapat diamati atau dialami oleh manusia.
Jadi, ontologi sebagai ilmu mempelajari tentang sesuatu
yang ada. Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang bisa
dipikirkan manusia secara rasional dan yang
bisa diamati melalui
pancaindera manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah
manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada batas prapengalaman
(seperti penciptaan manusia) dan pascapengalaman (seperti surga dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya
di luar ilmu. Ilmu memulai kajiannya dari pengenalan dan pengalaman manusia,
dan berhenti pada batas pengenalan dan pengalaman manusia juga. Misalnya
pertanyaan tentang apa manusia (subjek) dibatasi pada aspek kebudanyaanya,
psikologisnya, perilaku sosialnya dan berbagai aspeknya (objek material dan
formanya) yang dapat dinalar sekaligus dapat diamati atau dialami
(Suriasumantri, 2010).
Contoh kegiatan sehari-hari yang melibatkan konsep ontologi yaitu konsep tenrang kursi. Ontologi kursi adalah realitas tentang kursi. Dengan kata lain ontologi menjawab pertanyaan tentang apa sebenarnya realitas hakiki dari kursi. Realitasnya ialah ide atau gambaran yang membuat kita selalu mengenali tentang kursi. Begitu banyak bentuk atau model-model kursi, namun pengetahuan tentang kursi inilah yang membuat kita tetap mengenali bahwa itu adalah kursi meskipun bentuknya kadang berubah-ubah. Realitas yang dimaksudkan adalah sesuatu yang tidak pernah selesai. Ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah realitas atau sesuatu yang tidak pernah selesai termasuk manusia, oleh sebab itu, dari semua itu lahir kemungkinan-kemungkinan atau potensi aktual bagi lahirnya pengetahuan-pengetahuan baru sehingga dapat ditemukan kebenaran baru yang belum pernah ditemukan sebelumnya.
B. Aspek Ontologi Ilmu
Menurut Suaedi (2016: 83) aspek ontologi dari ilmu
pengetahuan hendaknya diuraikan
secara metodis (menggunakan cara ilmiah), sistematis (saling berkaitan satu
sama lain secara teratur dalam satu keselurusan), koheren (unsur-unsurnya ber
harus bertautan tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan), rasional
(harus berdasarkan pada kaidah berpikir yang benar dan logis), komprehensif
(melihat objek tidak hanya dari satu sisi atau atau satu sudut pandang tetapi
juga multidimensional atau secara keseluruhan/holistik), radikal
(diuraikan kebenarannya sampai
tingkat umum yang berlaku
dimana saja).
C.
Fungsi dan Manfaat Ontologi
Ilmu
Fungsi dan manfaat mempelajari ontologi ilmu antara lain
adalah sebagai refleksi kritis atas objek atau bidang garapan, konsep-konsep,
asumsi-asumsi, dan prostulat- prostulat ilmu. Ontologi menjadi penting karena,
pertama, kesalahan suatu asumsi akan melahirkan teori, metodologi keilmuan yang
salah pula. Kedua, ontologi membantu ilmu untuk menyusun suatu pandangan dunia
yang integral, komprehensif, dan koheren. Ilmu dengan ciri khasnya mengkaji
hal-hal yang khusus untuk dikaji secara tuntas yang pada akhirnya diharapkan
memperoleh gambaran tentang objek (Suaedi, 2016: 84)
D.
Ruang Lingkup Ontologi Ilmu
Menurut Suriasumantri (2001:63) terdapat 3 (tiga) ruang lingkup dalam ontologi
yakni:
1. Metafisika
Obyek metafisika muncul dari anggapan umum bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat gaib dan lebih tinggi/lebih berkuasa dibanding alam yang nyata.Anggapan umum itu lambat laun berkembang menjadi sesuatu yang diyakini manusia. Maka dahulu kala keyakinan ini melahirkan animisme dan dinamisme. Berikutnya aliran pemikiran ini disebut supernaturalisme.
Seiring berjalannya waktu muncul aliran pemikiran yang
mencoba memberi kritik terhadap supernaturalisme. Aliran pemikiran ini
menyatakan bahwa gejala- gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh wujud-wujud
gaib. Gejala-gejala alam ditimbulkan oleh kekuatan yang ada di alam itu
sendiri. Sehingga gejala-gejala yang timbul di alam ini dapat dipelajari dan
diketahui. Aliran pemikiran ini dikenal dengan
naturalisme.
Baik supernaturalisme maupun naturalisme memiliki pijakan
berpikir masing- masing. Karena itu keduanya melahirkan aliran pemikiran lain.
Sebagai contoh supernaturalisme melahirkan vitalistik dan naturalisme
melahirkan mekanistik.
Kedua aliran pemikiran yang saling bertentangan ini sampai
hari masih memiliki pengaruh
masing-masing. Setiap orang berhak menentukan pahamnya masing-masing karena
setiap orang memiliki filsafatnya sendiri-sendiri. Suriasumantri (2001:70)
menegaskan bahwa setiap orang berhak menentukan paham yang dianutnya bahkan setiap orang
berhak mengajukan jawaban filsafatinya masing-masing.
Meskipun bertentangan, terdapat
titik temu dari kedua aliran pemikiran ini. Titik
temu para ilmuwan dari keduanya adalah pada taraf pragmatis dari ilmu.
Seseorang yang vitalistik mungkin akan mengatakan bahwa lebih banyak memberi
akan lebih banyak menerima sehingga membuat sesuatu yang dimiliki menjadi
bertambah. Sebaliknya seseorang yang mekanistik akan mengatakan bahwa memberi
akan mengurangi sesuatu yang dimiliki. Namun jika keduanya hidup dalam
lingkungan sosial yang sama maka tidak lantas membuat si mekanistik menjadi
pelit. Keduanya terikat oleh nilai-nilai yang berlaku dalam lingkungan sosial.
Hal ini menyebabkan perilaku mereka cenderung sama dalam praktik di kehidupan
nyata.
Adib (2011:41) menyatakan bahwa metafisika adalah suatu
pembahasan filsafat yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau tentang
segala sesuatu yang ada. Metafisika tidak hanya
meliputi obyek-obyek inderawi
namun termasuk di dalamnya
obyek-obyek yang tidak inderawi. Kemudian obyek-obyek itu dibahas secara
menyeluruh tentang realitasnya.
Anton Bakker dalam Malli (2019:88) menyebutkan objek material Metafisika adalah yang ada artinya segala-galanya. Objek metafisika tidak hanya material yang nampak namun juga material yang tidak nampak. Keduanya termasuk dalam obyek metafisika karena terbukti riil ada dan memiliki hakikat.
Obyek formal metafisika menurut Kattsoff dalam Malli
(2019:89) merupakan bahasan tentang hakikat realitas. Realitas ini dipandang
dari segi kualtitatif dan kualitatif. Realitas kuantitatif merujuk pada jumlah,
bisa tunggal bisa juga jamak. Sedangkan realitas kuantitatif merujuk pada
jenisnya secara realitas seperti sifat, ciri-ciri,
karakteristik, dan sebagainya.
Pada metafisika dikenal metode abstraksi. Sebuah obyek
diabstraksi atau disaring sehingga menghasilkan sebuah esensi. Abstraksi yang
dimaksud adalah dengan cara memisahkan hal-hal yang bersifat individu sehingga
ditemukan sifat- sifat umum pada obyek sejenis. Malli (2019:91) menjelaskan
bahwa hasil dari abstraksi metafisik berupa pengetahuan tentang esensi.
Contohnya adalah sepeda motor, ciri umum yang digunakan untuk mengidentifikasi
obyek sejenisnya adalah sepeda yang memiliki motor sebagai penggeraknya. Motor
yang dimaksud dapat bertenaga minyak maupun listrik. Sedangkan warna motor
sebagai ciri individu tidak
diperhitungkan karena tidak bersifat umum.
Pembuktian dalam metafisika meliputi 2 (dua) jenis yakni
penalaran apriori dan aposteriori. Metode pembuktian apriori adalah penalaran
sebelum dilakukan penyelidikan. Biasanya penalaran apriori berangkat dari
teori. Sebaliknya, aposteriori adalah
menalar setelah melakukan penyelidikan. Penalaran aposteriori berangkat dari
bukti kemudian menyimpulkan sesuatu.
Contoh penalaran
apriori adalah:
-
Setiap makhluk hidup bernafas
- Tumbuh-tumbuhan bernafas
- Maka tumbuhan adalah makhluk hidup. Contoh penalaran apostioreri:
-
Ditemukan jejak
kaki kambing di teras
- Kambing berjalan meninggalkan jejak
- Maka kambing ada di teras.
2.
Asumsi
Asumsi dikenal juga dengan istilah anggapan dasar. Karena merupakan anggapan, maka sebuah asumsi perlu dibuktikan. Pembuktian asumsi dilakukan dengan metode empiris. Dalam ontologi, asumsi dikatakan sebagai dugaan dasar pada hakikat sesuatu. Dapat dibuktikan atau tidak nantinya sebuah asumsi akan memberi kontribusi terhadap ilmu pengetahuan. Jika sebuah asumsi dapat dibuktikan melalui metode empiris maka terjadi sebuah pembuktian kebenaran. Dalam situasi sebaliknya, asumsi yang tidak terbukti kebenarannya dapat dijadikan sebagai alat evaluasi. Harus ada penjelasan logis mengenai penyebab sebuah asumsi tidak terbukti ketika diuji secara empiris.
Selengkapnya mengenai asumsi akan dibahas pada bagian
selanjutnya dalam makalah ini.
3.
Peluang
Suriasumantri (2001:79) mengatakan bahwa ilmu tidak pernah
berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Pengetahuan
yang didapatkan melalui kajian-kajian dianggap benar saat ini, namun anggapan
itu dapat berubah apabila ditemukan kebenaran baru.
Sebagai contoh, Pluto awalnya dianggap sebagai sebuah
planet dalam sistem tata surya dengan matahari sebagai pusatnya. Namun pada
Tahun 2006 para ahli menyatakan bahwa Pluto tidak memenuhi kriteria sebagai
sebuah planet. Jadi kebenaran Pluto sebagai planet berlaku hanya hingga tahun
2006. Hal ini disebabkan karena ditemukan bukti-bukti kebenaran baru. Karena
sifatnya yang tidak mutlak maka dikatakan sebuah pengetahuan memiliki peluang
untuk menjadi benar. Sedangkan kebenaran sesungguhnya harus terus dicari.
Lebih lanjut Suriasumantri (2001:79) juga menjelaskan bahwa ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan didasarkan pada tafsiran kesimpulan ilmiah. Penafsiran inipun bersifat relatif. Ketika seseorang mengatakan dalam penelitian ilmiahnya bahwa multimedia interaktif dapat meningkatkan hasil belajar siswa sebesar 73%, maka tidak serta merta semua berkeputusan untuk menggunakan multimedia interaktif dalam upaya meningkatkan hasil belajar. Hal ini bersifat relatif. Ketika kondisi di lapangan identik dengan kondisi pada saat penelitian itu dilakukan, seseorang dapat menerapkannya. Sebaliknya jika kondisi lapangan berbeda dengan kondisi yang digambarkan dalam penelitian maka tidak mungkin hasil penelitian itu dapat dilakukan. Jadi hasil penelitian itu hanya berlaku pada kondisi yang sama. Maka dikatakan bahwa kebenaran tentang multimedia interaktif dapat meningkatkan hasil belajar siswa tidak bersifat mutlak. Lalu keputusan untuk memakai hasil penelitian bersifat relatif karena dalam kondisi berbeda hasil penelitian tidak dapat dijadikan dasar untuk mengambil keputusan. Inilah yang dimaksud bahwa peluang menjadi salah satu ruang lingkup dalam ontologi ilmu pengetahuan.
E. Asumsi Dasar dalam Ontologi
Ilmu
Menurut Endang Saifudiin dalam Malli (2019:95) terdapat dua
asumsi dasar dalam ontologi ilmu pengetahuan yakni (1) mengambil dari postulat
dan (2) mengambil dari teori sarjana/ahli lain yang terdahulu. Asumsi biasanya
berasal dari postulat, yaitu kebenaran (dalil-dalil) a priori yang tidak
dapat dibuktikan kebenarannya. Meski postulat tidak dibuktikan, kebenaran dalam
postulat telah diterima secara umum. Contoh postulat adalah dalil akan adanya
Tuhan dalam filsafat Kant. Postulat akan adanya Tuhan diperlukan agar manusia
berlaku secara susila dalam hidup.
Asumsi dapat juga timbul dari adanya pengetahuan terdahulu
yang didapatkan dari ahli sebelumnya. Karena itulah penelitian-penelitian
mencantumkan hasil penelitian sebelumnya dalam bagian latar belakang. Kemudian
hasil dari penelitian-penelitian sebelumnya dihubungkan dengan kondisi ideal
dan kondisi yang saat ini terjadi
sehingga manjadi asumsi. Asumsi lalu dituangkan dalam hipotesis.
Sedangkan menurut Harsojo dalam Malli (2019:96) terdapat tiga macam asumsi dasar dalam keilmuan yakni:
1. Dunia itu ada, dan kita dapat mengetahui bahwa dunia itu benar ada.
2. Dunia empiris itu dapat diketahui oleh manusia oleh manusian melalui pancaindera.
3. Fenomena-fenomena yang terdapat didunia ini berhubungan satu sama lain secara kausal.
Tafsir (2009:22) menjelaskan bahwa rumus baku metode ilmiah
ialah: logico- hypothetico-verificatif (buktikan bahwa itu logis, tarik
hipotesis, ajukan bukti empiris). Dalam istilah masa kini membuktikan bahwa sesuatu itu logis disebut
rasional penelitian. Lalu
rasional tersebut ditarik menjadi hipotesis dan diuji kebenarannya agar dapat
diajukan bukti empirisnya.
Menurut Fred N. Kerlinger dalam Tafsir (2009:22) asusmsi dasar ilmu pegetahuan dirumuskan dalam ungkapan post hoc, ergo propter hoc (ini, tentu disebabkan oleh ini). Artinya asumsi ini benar bila sebab akibat itu memiliki hubungan rasional. Jadi dalam asumsi dasar berlaku cara kerja kausalitas, yakni sesuatu mempengaruhi sesuatu yang lain dalam hubungan sebab akibat.
Meski begitu, asumsi adalah dasar dari kegiatan penelahaan ilmu. Ilmu tidak dapat mengalami perkembangan tanpa asumsi. Dugaan awal dalam titik tolak penelitian tentang sebuah ilmu berasal dari asumsi. Sehingga asumsi menentukan arah untuk memfokuskan area penelitian.
F. Metode Ontologi Ilmu
Pertanyaan tentang ‟mengada‟ ini muncul dari pemahaman
tentang kenyataan kongkret. Dengan demikian ontologi menanyakan sesuatu yang
tidak serba terkenal. Maka telah ada
semacam vorwissen (pra pengetahuhan); sudah ada suatu pemahaman, namun yang
belum tahu pula. Pemahamam itu senada dengan keinsafan manusia akan dirinya sendiri sebelum melaksanakan antropologi
metafisik; -bahkan merupakan lanjutan sebelum
melaksanakan antropologi meta fisik;-
filsafat lalu menjurus ke suatu refleksi terakhir, yang ingin mengeksplitasikan dan mentematisasikan vorwissen tersebut. tetapi, walaupun terbuka
untuk perkembangan selanjutnya, vorwissen itu juga telah menentukan cakrawala
prisipal, ataupun telah memasang suatu apriori mutlak. Segala perkembangan
pengertian telah termuat dalam batas-batas prapemahaman itu, dan tidak pernah
akan dapat melampuinya. Yang ada di luarnya tidak akan dan tidak dapat
dipertanyakan, karena tidak dipandang sebagai ‟mengada‟.
Dengan demikan ontologi bergerak di anatara dua kutub,
yaitu anatara pengalaman akan kenyataan konkret
dan pra pengertian „mengada‟ yang paling umum. Dalam refleksi ontologi kedua kutub itu saling
menjelaskan. Atas dasar pengalaman tentang kenyataan akan semakin disadari dan di eksplisitasikan arti dan hakikat
„mengada‟.
Tetapi sebaliknya prapemahaman tentang cakrawala „mengada‟ akan semakin
menyoroti pengalaman konkret itu , dan membuatnya terpahami sungguh- sungguh.
Jadi refleksi ontologis berbentuk suatu lingkaran hermeneutis anatara
pengalaman dan‟mengada‟ tanpa mampu dikatakan man yang lebih dahulu.
Metode ontologi ini tidak dapat dipertanggungjawabkan lebih
lanjut dulu. Akan menjadi lebih jelas
sambil berjalan, dan sahnya akan tampak dalam uraian ontologis sendiri tidaklah
mungkin bertitik pangkal dari rumus-rumus tepat mengenai „mengada‟ dan segala
sesuatu yang berhubungan dengannya oleh karena dua alasan.
Pertama, rumus sedemikian itu
belum diberikan dasar mutlak dan kepastian ultima. Dengan menentukan rumus
sedemikan tanpa jaminan definitif, ada bahaya bahwa telah ditentukan batas
batas yang terlalu sempit dan kurang supel, sehingga secara apriori telah akan
tertutup jalan- jalan pemikiran yang tertentu. Kedua,
suatu definisi selalu
memakai suatu pengertian lain
yang diandaikan telah
diketahuhi lebih dahulu dan lebih jelas dari‟mengada‟ itu. Oleh kedua alasan
ini rumus rumus dalam ontologi hanya mungkin terjadi sebagai kesimpulan
kesimpulan uraian.
G. Aliran dalam Ontologi Ilmu
Menurut Suaedi (2016: 84). Pandangan-pandangan pokok dalam
aliran ontologi sebagi berikut.
1. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh
kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja
sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak
mungkin ada hakikat masing-masing
bebas dan berdiri sendiri. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block
Universe. Paham ini kemudian terebagi ke dalam dua aliran:
a.
Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah
materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme.
Menurutnya bahwa zat mati merupakan
kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi, yang lainnya jiwa
atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa dan ruh
merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan dengan salah satu cara
tertentu.
Alasan mengapa aliran ini berkembang sehingga memperkuat
dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah:
1) Pikiran
yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat diraba, biasanya dijadikan
kebenaran terakhir.
2) Pikiran
sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak.
3) Penemuan-penemuan
menunjukan betapa bergantungnya jiwa pada badan. Oleh sebab itu, peristiwa
jiwa selalu dilihat
sebagai peristiwa jasmani.
Jasmani
lebih menonjol dalam peristiwa ini. Dalam sejarahnya manusia memang bergantung pada benda seperti pada
padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul dari situ. Kesemuanya itu memperkuat dugaan
bahwa yang merupakan haklekat adalah benda.
b. Idealisme
Aliran idealisme dinamakan juga spiritualisme.
Idealisme bderarti serba cita
sedang spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua
berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya,
yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu
hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani. Alasan aliran ini yang
menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:
a.
Nilai ruh lebih tinggi daripada
badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupoan manusia. Ruh itu
dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya. Sehingga materi hanyalah badannya
bayangan atau penjelmaan.
b. Manusia lebih
dapat memahami dirinya
daripada dunia luar dirinya.
c.
Materi ialah kumpulan energi yang
menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu saja.
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran plato
(428-348 SM) dengan teori idenya.
Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya, yaitu konsep universal
dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa
bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idealah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi
dasar wujud sesuatu.
2. Dualisme
Dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua
paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut
aliran dualisme materi maupun ruh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul
bukan karena adanya ruh, begitu pun ruh muncul bukan karena materi. Tetapi
dalam perkembangan selanjutnya aliran ini masih memiliki masalah dalam
menghubungkan dan menyelaraskan kedua aliran tersebut di atas. Sebuah analogi
dapat kita ambil misalnya tentang jika jiwa sedang sehat, maka badan pun akan
sehat kelihatannya. Sebaliknya jika jiwa seseorang sedang penuh dengan duka dan
kesedihan biasanya badanpun ikut sedih, terlihat dari murungnya wajah orang
tersebut.
3.
Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictonary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M). Kelahiran New York dan terkenal sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth James mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal.
4. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui
validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme
diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia. Doktrin tentang
nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zamanYunani Kuno, yaitu pada pandangan
Gorgias (485-36SM) yang memberikan tiga proposesi tentang realitas. Pertama,
tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat
diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan
dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain aliran ini adalah
Friedrich Nietzche (1844-1900M). Dalam pandangannya dunia terbuka untuk
kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarah kan pada suatu
dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.
5. Aliran Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui
hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat rohani. Kata agnostisisme
berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang berarti unknown. Artinya not, gno artinya
know. Timbulnya aliran ini
dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret
akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal.
Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia itu tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan kedalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri.
Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a entre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi maupun rohani.
H. Kedudukan dan Hubungan
Ontologi dengan Filsafat
Pendidikan
1. Kedudukan Ontologi
Ontologi ini merupakan „ilmu pengetahuan‟ yang paling
universal dan paling menyeluruh penyelidikannya meliputi segala pertanyaan dan
penelitian lainya yang lebih bersifat ‟bagian‟. Ia merupakan konteks untuk
semua konteks lainnya, cakrawala yang merangkum semua cakrawala lainnya,
pendirian yang meliputi segala pendirian lainya. Ontologi berhubungan dengan yang namanya metafisika. Sedangkan
mengada itu merupakan sekaligus hal yang paling terkenal, dan hal yang paling
sukar diekspresikan. Oleh karen meneliti dasar paling umum untuk segala- gala nya, ontologi itu disebut filsafat
‟pertama‟ namun ontologi
telah mengandaikan semua
bagian filsafat lainya.
Tentu dalam suatu pengantar didaktis dapat saja ontologi sebagai pemikiran paling umum, diuraikan pada awal seluruh penyelidikan filosofi (demikianlah);tetapi menurut ukuran itu belum cukup dicakup pengalaman konkret mengenai manusia- dunia-tuhan. Besarlah bahaya bahwa ontologi sedemikian itu menjadi suatu kumpulan atau sistem konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang melulu formalitas dan kosong belaka (menurut tuduhan kant), tanpa hubungan dengan kenyataan yang benar. Oleh karena itu kiranya paling baik ontologi dikembalikan kedudukannya semula, yaitu ditempatkan pada akhir filsafat sistematis. Jadi ontologi disebut filsafat ‟pertama‟, tetapi juga filsafat ‟ultima‟
2. Hubungan ontologi
dengan filsafat pendidikan
Telah kita ketahui bersama bahwasanya ontologi ialah suatu kajian keilmuan yang berpusat pada pembahasan tentang hakikat. Ketika ontologi dikaitkan dengan filsafat pendidikan, maka akan munculah suatu hubungan mengenai ontologi filsafat pendidikan (Saihu, S : 2019). Pendidikan adalah suatu kegiatan yang sadar akan tujuan. Disini bermakna bahwa adanya pendidikan bermaksud untuk mencapai tujuan, maka dengan ini tujuan menjadi hal penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan dapat membawa anak menuju kepada kedewasaan, dewasa baik dari segi jasmani maupun rohani. Dengan mengetahui makna pendidikan maka makna ontologi dalam pendidikan itu sendiri merupakan analisis tentang objek materi dari ilmu pengetahuan. Berisi mengenai hal-hal yang bersifat empiris serta mempelajari mengenai apa yang ingin diketahui manusia dan objek apa yang diteliti ilmu. Dasar ontologi pendidikan adalah objek materi pendidikan dimana sisi yang mengatur seluruh kegiatan kependidikan. Jadi hubungan ontologi dengan pendidikan menempati posisi landasan yang terdasar dari fondasi ilmu dimana disitulah teletak undang-undang dasarnya dunia ilmu.
Di atas telah disebutkan bahwa pendidikan ditinjau dari sisi ontologi berarti persoalan tentang hakikat keberadaan pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan selalu berada dalam hubungannya dengan eksistensi kehidupan manusia. Tanpa pendidikan, manusia tidak mungkin bisa menjalankan tugas dan kewajibannya di dalam kehidupan, pendidikan secara khusus difungsikan untuk menumbuh kembangkan segala potensi kodrat (bawaan) yang ada dalam diri manusia. Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa ontologi pendidikan berarti pendidikan dalam hubungannya dengan asal-mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia (Yunus Abu Bakar : 2014).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan materi pada bab dua maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Jadi,
ontologi sebagai ilmu mempelajari tentang sesuatu yang ada. Ontologi ilmu
membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang bisa dipikirkan manusia secara
rasional dan yang bisa diamati melalui pancaindera manusia. Wilayah ontologi
ilmu terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia.
2 Aspek
ontologi dari ilmu pengetahuan hendaknya diuraikan secara metodis, sistematis,
koheren, komprehensif, radikal.
3. Fungsi dan manfaat mempelajari ontologi ilmu antara lain adalah sebagai refleksi kritis atas objek atau bidang garapan, konsep-konsep, asumsi-asumsi, dan prostulat- prostulat ilmu.
4. Ruang lingkup ontologi yaitu: metafisika, asumsi, dan peluang.
5. Menurut Endang Saifudiin dalam Malli (2019:95) terdapat dua asumsi dasar dalam ontologi ilmu pengetahuan yakni (1) mengambil dari postulat dan (2) mengambil dari teori sarjana/ahli lain yang terdahulu.
6. Ontologi bergerak di anatara dua kutub, yaitu anatara pengalaman akan kenyataan konkret dan pra pengertian „mengada‟ yang paling umum.
7. Aliran dalam ontologi yaitu ada monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme.
8. Ontologi
ini merupakan „ilmu pengetahuan‟ yang paling universal dan paling menyeluruh
penyelidikannya meliputi segala pertanyaan dan penelitian lainya.
B.
Saran
Pada
kenyataannya, pembuatan makalah ini masih bersifat sangat sederhana. Penyusunan
makalah inipun masih memerlukan kritikan dan saran bagi pembahasan materi
tersebut
Daftar Pustaka
Adib, Mohammad. 2011.
Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anton, Bakker.
1992. Ontologi Metafisika Umum Filsafat Pengada
Dan Dasar-Dasar Kenyataan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius
Biyanto. 2015.
Filsafat
Ilmu dan Ilmu Keislaman. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Dr.
Zaprulkhan, sSos.I., M.S.I., ”filsafat
ilmu sebuah analisis kopntenporer” ( hal 58-60). Malli, Rusli. 2019. Landasan Ontologi
Ilmu Pengetahuan. Makassar:
Tarbawi Jurnal
Pendidikan Agama Islam Vol. 4 No. 1
Saihu, S. 2019. Konsep Manusia
Dan Implementasinya Dalam Perumusan
Tujuan Pendidikan Islam Menurut
Murtadha Muthahhari. Andragogi: Jurnal
Pendidikan Islam dan Manajemen Pendidikan Islam, 1(2), 197-217.
Suaedi. 2015. Pengantar Filsafat
Ilmu. Bogor: Penerbit
IPB Press Sudibyo, dkk. 2014.
Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Deepublish
Suriasumantri, Jujun. 2010. Filsafa Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
2001.
Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tafsir, Ahmad. 2009. Filsafat ilmu: Mengurai
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi
Ilmu Pengetahuan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Yunus, Abu Bakar.
2014. Filsafat Pendidikan Islam. Surabaya: Digilib uinsby
_ _ _ _ _ _ _
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
Download Makalah Ontologi Ilmu di sini
Download Presentasi Makalah Ontologi Ilmu di sini
No comments