Makalah Filsafat Ilmu Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan
SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala Rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Harapan
kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi
para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami
yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah.
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
Penulisan
D. Manfaat
Penulisan
BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
A. Zaman
Pra Yunani Kuno
B. Zaman
Yunani Kuno
C. Abad
Pertengahan
D. Tokoh
Abad Pertengahan
E. Zaman
Modern
F. Aliran
dan Tokoh pada Zaman Modern
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Sebab,
hal ini terkait dengan kisah perjalanan peradaban dunia. Selain itu, dengan
memahami sejarah ilmu pengetahuan, maka kita bisa memahami asal usul sebuah
pemikiran dan belajar tentang hal yang baik dan buruk dari sejarah tersebut.
Dengan demikian akan diperoleh sebuah konsep pengetahuan yang lebih baik dan terbaru
demi meningkatkan pengetahuan manusia. Banyak kisah yang mewarnai sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan mulai dari kegagalan sampai penemuan-penemuan
yang dianggap spektakuler.
Perkembangan
ilmu pengetahuan hingga seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara
mendadak, melainkan melalui proses bertahap, dan evolutif. Uraian sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan mengacu kepada pemikiran filsafat di Barat. Hal
ini dapat mencerminkan perkembangan ilmu pengetahuan di Barat secara utuh mampu
mempengaruhi peradaban dunia. Diawali dari periode filsafat Yunani yang pada
waktu itu terjadi perubahan pola pikir manusia dari mite-mite menjadi yang
lebih rasional. Pola pikir mite-mite adalah pola pikir masyarakat yang sangat
mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam.
Karenanya,
untuk memahami sejarah perkembangan ilmu pengetahuan harus melakukan pembagian
atau klasifikasi secara periodik. Dalam setiap periode sejarah perkembangan
ilmu pengetahuan menampilkan ciri khas tertentu. Seiring dengan perkembangan zaman dan pola pikir manusia yang
semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidangnya tercapailah
suatu kehidupan baru untuk menunjang perkembangan teknologi dan informasi.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman pra Yunani
kuno?
2.
Bagaimana
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman
Yunani kuno?
3.
Bagaimana sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada abad pertengahan?
4.
Bagaimana sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman pra Yunani kuno.
2.
Mengetahui sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman Yunani kuno.
3.
Mengetahui sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada abad pertengahan.
4.
Mengetahui sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern.
D. Manfaat
Penulisan
Manfaat
dari pembuatan makalah ini semoga para pembaca dapat memahami dan mengetahui
perkembangan-perkembangan ilmu pada zaman jauh sebelum kita dilahirkan dan
sesudah dilahirkan, dari yang tidak mengetahui tentang perkembangan ilmu
pengetahuan di zaman dahulu sampai kita dapat mengetahui sejarah perkembangan
ilmu pengetahuan tersebut. Dan semoga dengan adanya makalah ini para pembaca
dapat menuangkan dan mengeluarkan ide-ide dan bakat ilmu terbaru yang lainnya.
BAB II
SEJARAH
PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
A. Zaman
Pra Yunani Kuno
Pada
masa ini manusia masih menggunakan batu sebagai peralatan. Oleh karena itu,
zaman pra Yunani Kuno disebut juga Zaman Batu yang berkisar antara empat juta
tahun sampai 20.000 tahun. Antara abad ke-15 sampai 6-SM, manusia telah
menemukan besi, tembaga, dan perak untuk berbagai peralatan. Abad kelima belas
Sebelum Masehi peralatan besi dipergunakan pertama kali di Irak, tidak di Eropa
atau Tiongkok.
Pada
abad ke-6 SM di Yunani muncul lahirnya filsafat. Timbulnya filsafat di tempat
itu disebut suatu peristiwa ajaib (the greek miracle). Pada bangsa Yunani,
seperti juga pada bangsa-bangsa sekitarnya, terdapat suatu mitologi yang kaya
serta luas. Mitologi ini dapat dianggap sebagai perintis yang mendahului
filsafat. Mite-mite (cerita kuno yang berisi penafsiran alam semesta) sudah
memberi jawaban atas pertanyaan yang hidup dalam hati manusia: dari mana dunia
kita? Dari mana kejadian dalam alam? Apa sebab matahari terbit, lalu terbenam
lagi? Melalui mite-mite, manusia mencari keterangan tentang asal usul alam
semesta dan tentang kejadian-kejadian yang berlangsung di dalamnya. Mite jenis
pertama yang mencari keterangan tentang asal usul alam semesta sendiri biasanya
disebut mite kosmogonis, sedangkan mite jenis kedua yang mencari keterangan
tentang asal usul serta sifat kejadian dalam alam semesta disebut mite
kosmologis. Khusus pada bangsa Yunani ialah mereka mengadakan beberapa usaha
untuk menyusun mite-mite yang diceritakan oleh rakyat menjadi suatu keseluruhan
yang sistematis. Dalam usaha itu sudah tampaklah sifat rasional bangsa Yunani.
Karena dengan mencari suatu keseluruhan yang sistematis, mereka sudah
menyatakan keinginan untuk mengerti hubungan mite-mite satu sama lain dan
menyingkirkan mite yang tidak dapat dicocokkan dengan mite lain.
Pengaruh Ilmu Pengetahuan yang pada waktu itu sudah
terdapat di Timur Kuno. Orang Yunani tentu berutang budi kepada bangsa-bangsa
lain dalam menerima beberapa unsur ilmu pengetahuan dari mereka. Demikianlah
ilmu ukur dan ilmu hitung sebagian berasal dari Mesir dan Babylonia pasti ada
pengaruhnya dalam perkembangan ilmu astronomi di negeri Yunani. Namun, baru
pada bangsa Yunani ilmu pengetahuan mendapat corak yang sungguh-sungguh ilmiah.
Pada abad ke-6 Sebelum Masehi mulai berkembang suatu pendekatan yang sama
sekali berlainan. Sejak saat itu orang mulai mencari berbagai jawaban rasional
tentang problem yang diajukan oleh alam semesta. Logos (akal budi, rasio)
mengganti mythos. Dengan demikian filsafat dilahirkan. (Kriting, 2013)
Pada
zaman Pra Yunani Kuno di dunia ilmu pengetahuan dicirikan berdasarkan know how
yang dilandasi pengalaman empiris. Di samping itu, kemampuan berhitung ditempuh
dengan cara one-to one correspondency atau mapping process. Contoh cara
menghitung hewan yang akan masuk dan ke luar kandang dengan kerikil. Namun pada
masa ini manusia sudah mulai memperhatikan keadaan alam semesta sebagai suatu
proses alam.
B. Zaman
Yunani Kuno
Menurut Sidharta dalam Anwar
(2013:116) yang menyebut Zaman Yunani Kuno sebagai zaman filosofi alam, sebab
tujuan filosofi mereka adalah memikirkan soal alam besar. Darimana terjadinya
alam, itulah yang menjadi soal bagi para filosof pada zaman itu. Selain itu
Fuad Hasan dalam Anwar (2013: 116) menyebut masa ini bersifat kosmosentris,
yakni para filosof mempertanyakan asal-usul alam semesta dan jagad raya, dengan
tujuan menemukan asal muasal segala sesuatu atau yang disebut arche.
Tokoh-tokoh yang terkenal pada zaman
Yunani Kuno antara lain:
1. Thales
(625-545 SM)
Thales dikatakan sebagai bapaknya filosofi Yunani,
yang saat itu, filosofi diajarkan dengan mulut saja dengan dikembangkan oleh
murid-muridnya dari mulut ke mulut juga yang kemudian baru dituliskan oleh
Aristoteles (Anwar, 2013:117). Menurut Thales yang menjadi arche adalah
air, sebagai hasil perenungannya akan sesuatu yang menyatukan keseluruhan
dunia. Dia juga memiliki gagasan ganjil yang menyatakan kalau bumi mengapung di
atas air. (Herho, 2016: 22)
2. Phytagoras
(580-500 SM)
Menurut Phytagoras, semesta (kosmos) dipandang
sebagai sesuatu yang hidup, dan dipandang sebagai sebagai suatu keseluruhan
tanpa akhir (telos) dan kita (atau setidaknya jiwa kita) merupakan
bagian darinya. Phytagoras juga mempercayai perpindahan jiwa, karena itu
penganut pahamnya dilarang mengonsumsi daging (karena bisa saja itu merupakan
reinkarnasi leluhur kita). Filsafat di pandangan merupakan jembatan untuk
menyatukan filsuf dan kosmos. Matematika merupakan piranti esensial guna
mempelajari forma, dan struktur kenyataan, bagi kaum Pythagorean. Bilangan
dipandang sebagai suatu ‘tanda’ keilahian, suatu ‘jalan’ menuju kosmos, dan
karenanya sifat – sifat bilangan dapat menyingkapkan pola kosmos. Menurut
Pythagoras, segala hal di semesta ini (bahkan keadilan sekalipun), hanya dapat
didekati kenyataannya lewat bilangan. (Herho, 2016: 25)
3. Herkleitos
(540 – 480 SM)
Berbeda dengan Thales, berpendapat bahwa segala
sesuatunya berasal dari “api”. Menurutnya segala yang “ada” akan selalu
berubah, atau ia percaya dengan dinamika abadi yang memang dirancang sesuai
dengan logos universal, atau dalam istilah sains modern seringkali disebut
sebagai formula. Sehingga menurutnya prinsip dunia ini adalah keselarasan dalam
kontradiksi, dan eksistensi tercipta Ketika terjadi pertentangan. Oleh karena
itu ia menggambarkannya sebagai “api” yang selalu bergerak, dan bertranformasi.
(Herho, 2016: 26)
4. Parmenidas
(515 – 445 SM)
Parmenidas menganggap filsafat “ada” sebagai yang
memiliki preferensi pada kekekalan, sebuah “ada” di atas fluktuasi aliran realitas yang “menjadi”. Ia
menganggap jika semua “berubah” maka tidak ada yang bisa dijadikan pegangan
menuju ke “jalan kebenaran”. Karena pengetahuan sekunder (empiris dan opini)
menurutnya adalah manifestasi-manifestasi tentang “ada”, dan karena selalu
berubah maka bukanlah pengetahuan tertinggi bahkan dapat menyesatkan. Sehingga
manurutnya pengetahuan “ada” adalah sesuatu yang tetap, malah menjadi sesuatu
yang melahirkan pengetahuan.
Namun
selain tiga ilmuwan tersebut, ada tiga ilmuwan besar beserta pemikirannya yang
dianggap telah membuat penemuan yang menjadi fondasi filsafat, yakni:
1. Socrates (469-399 SM)
Socrates merupakan
generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari Yunani, sekaligus merupakan
guru Plato. Socrates lah yang mengajari Plato, dan Plato kemudian mengajarkan
Aristoteles. Pemikiran Socrates yang terpenting bagi pemikiran filsafat adalah
metode penyelidikannya yang dikenal sebagai metode elechos, yang banyak
digunakan konsep moral dan pokok. Namun karena tidak ada catatan konkrit
atas pemikiran Socrates, yang mana pemikiran-pemikiran Socrates hanya bisa
ditemukan dalam tulisan Plato, sehingga keberadaan Socrates sebagai filsuf
sering diragukan. (Karim, 2014: 279)
2. Plato (427–347 SM)
a. Prinsip
Dasar Pemikiran Plato
Plato
merupakan filsuf pertama yang berusaha memberi jalan tengah terhadap
pertentangan pemikiran Herakleitos dan Parmenides. Kalau Herakleitos secara
ekstrim hanya mengakui gerak/perubahan dan menolak segala pemikiran tentang
permanensi, sedangkan sebaliknya Parmenides hanya mengakui permanensi saja dan
menolak segala pemikiran tentang perubahan atau gerak maka Plato berusaha
memberikan sintesisnya. Plato berpandangan bahwa di dalam dunia ini manusia
hanya mengamati hal-hal yang berubah dan dapat binasa saja. Akan tetapi,
sebenarnya di samping hal-hal yang beraneka ragam dan dikuasai oleh gerak serta
perubahan itu, tentu ada yang tetap, yang tidak berubah. Plato mengajak orang
untuk tidak terpaku oleh kenyataan masa kini. Plato menegaskan, bahwa yang berubah
dan bermacam-macam itu dikenal lewat pengalaman indrawi, sedangkan yang tetap
dan satu dikenal lewat akal budi manusia.
b. Dunia
yang Tetap dan Dunia yang Serba Berubah
Plato
mengajarkan, bahwa realitas seluruhnya terbagi atas dua dunia, yaitu dunia idea
sebagai realitas yang tetap, tidak berubah dan abadi, yang hanya terbuka dan
dapat dikenal oleh rasio, dan dunia jasmani atau indrawi sebagai realitas yang
serba berubah, yang hanya dapat dikenal dan terbuka bagi pancaindra. Plato
menegaskan, bahwa baik pandangan Herakleitos maupun Parmenides diakui
mengandung kebenaran, dalam arti, keduanya tidak dapat disangkal sepenuhnya. Di
satu pihak, harus diakui bahwa ada kenyataan yang serba berubah, seperti
dikemukakan Herakleitos, namun itu hanya tentang dunia indrawi saja. Di lain
pihak, ada pula kenyataan yang tetap dan tidak berubah, seperti dikemukakan
Parmenides, tetapi itu hanya tentang dunia idea saja. Plato juga menjawab
masalah; apakah kedua dunia itu senyatanya? Di manakah letak kenyataan
sebenarnya? Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan inilah, yang menjadikan Plato
dianggap sebagai metafisikus pertama tradisi Barat. Plato menegaskan bahwa yang
serba berubah itu memang ada dan dikenal oleh pengamatan indrawi, sedangkan
yang tidak berubah atau permanen, yaitu idea-idea, dikenal oleh akal. Oleh
karenanya, ada dua bentuk “yang ada” atau realitas, yaitu bentuk yang dapat
diamati, yang senantiasa berubah, dan bentuk yang tidak dapat diamati, yang
tidak berubah. Hubungan kedua bentuk realitas itu bahwa yang tampak merupakan
pengungkapan dari yang tidak tampak. Bahkan Plato menyelesaikan suatu revolusi
metafisik dengan pembedaan “ada” dan “menjadi”. Plato berpendapat bahwa pendasaran
“menjadi” atau dunia yang berubah tidak memuaskan sebagai objek pengetahuan.
Plato berpikir bahwa pengetahuan yang asli adalah pengetahuan tentang sesuatu
yang tidak dapat berubah, harus mempunyai landasan bagi objeknya sesuatu yang
tidak berubah, sesuatu yang berbeda dengan realitas “menjadi” yang segera
berubah. Pengetahuan harus menunjuk pada yang “ada”. (Mulyono, 2014:7)
3.
Aristoteles (384–322 SM)
a. Prinsip
Dasar Pemikiran Aristoteles
Aristoteles, seperti halnya Plato,
berusaha mendamaikan dan mengatasi pertentangan pemikiran Herakleitos dan
Parmenides tentang kualitas yang “ada”. Namun berbeda dengan Plato, Aristoteles
justru berpangkal pada dunia indrawi yang serba berubah, yang satu per satu dan
konkret, sebagai realitas utama. Dunia idea terbentuk dari realitas indrawi
yang bermacam-macam. Realitas yang berubah inilah yang merupakan realitas
sejati. Bagi Aristoteles, “ada” dalam arti sebenarnya hanya dimiliki oleh
benda-benda konkret. Menurut Aristoteles, yang sungguh-sungguh ada bukanlah
yang umum karena yang umum itu hanyalah nama atau sebutan belaka. Contohnya,
tentang manusia; yang sejatinya ada itu si Joko, Bambang, Parti, Endang,
Prapto, dan seterusnya, yang satu per satu real, individual, berbeda dan
bermacam-macam; sedangkan kemanusiaan (idea, yang umum) itu hanya abstraksi
saja, tidak real, dan hanya ada di dalam pikiran saja. Bagi Aristoteles, di
luar benda-benda yang konkret, dan di sampingnya, tidak ada sesuatu yang berada.
Jelaslah, bahwa pemikiran filosofis Aristoteles pertama-tama diarahkan kepada
dunia empirik.
b. Materi
dan Bentuk
Atas pengakuan adanya bermacam-macam
yang serba berubah dan unsur kesatuan yang bersifat tetap atau permanen,
Aristoteles menampilkan teori hylemorfisme. Hylemorfisme secara etimilogis
berasal dari bahasa Yunani hyle, yang berarti materi, dan morphe, yang berarti
bentuk. Hyle adalah unsur yang menjadi dasar keragaman dan perubahan, sedangkan
morphe adalah unsur kesatuan dan permanensi. Hyle dan morphe merupakan kesatuan
pada benda konkret sehingga tak ada hyle tanpa morphe, dan sebaliknya. Berkat
hyle-nya sesuatu itu mempunyai identitas (benda itu adalah benda itulah, bukan
benda yang lain), sedangkan berkat morphe-nya mempunyai inti yang merupakan
kesatuan dari keragaman sesuatu dan dapat dipahami oleh akal budi. Aristoteles
mengajarkan bahwa setiap benda jasmani mempunyai bentuk dan materi yang bukan
hanya dapat terlihat, melainkan bentuk dan materi sebagai prinsip-prinsip
metafisik. Materi adalah prinsip yang sama sekali tidak ditentukan atau
terbuka. Bentuk adalah prinsip yang menentukan jenis benda itu, yang menjadikan
benda konkret itu disebut demikian, misal meja, kursi. Aristoteles menyampaikan
bahwa bentuk adalah bersifat imanen. Materi adalah kenyataan yang belum
terwujud, yang belum ditentukan, akan tetapi yang memiliki potensi untuk
menjadi terwujud atau ditentukan oleh bentuk. Sekalipun materi baru menjadi
nyata apabila dibentuk, namun materi tidak pasif, artinya ada gerak. Setiap
benda yang telah berbentuk dapat juga berubah ke bentuk yang lain sehingga
setiap realitas mengalami perubahan. Pandangan tentang adanya perubahan ini
bukan hanya berlaku bagi benda-benda hasil buatan manusia, melainkan berlaku
juga bagi hal-hal alamiah yang mengandung asas tumbuh dan perkembangan di
dalamnya, yang memiliki sumber gerak dalam dirinya sendiri.
c. Konsepsi
Aristoteles tentang Perubahan
Gambaran mengenai adanya gerak dan
perubahan pada semua realitas, menurut Aristoteles, tercermin pada hubungan
antara aktus dan potensi. Potensi adalah dasar kemungkinan (dinamik). Potensi
yang dimaksud adalah potensi sebagai kemampuan real subjek yang dapat berubah
dari dalam. Bukan kemungkinan murni logis atau kemungkinan objektif, seperti
batu yang dapat dipindahkan atau pohon yang dapat dipotong. Aktus adalah dasar
kesungguhan (energia). Aktus adalah “ada” itu sendiri atau merupakan kenyataan
objek seperti adanya atau eksistensi sesuatu. Barang sesuatu mungkin karena
potensinya dan ia sungguh nyata ada karena aktusnya. Aristoteles menegaskan
bahwa yang ada mempunyai potensi untuk berubah. Hubungan antara potensi dan
aktus secara hakiki bersifat dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan.
Aristoteles mendefinisikan perubahan
atau gerak sebagai “aktualisasi apa yang ada dalam potensi, sejauh sesuatu itu
masih ada dalam potensi”. Perubahan adalah peralihan atau gerak potensi ke
aktus. Setiap gerak semestinya mewujudkan suatu perubahan dari apa yang ada
sebagai potensi ke apa yang ada secara berujud. Pergerakan sendiri, menurut
Aristoteles, selalu menunjukkan sesuatu kekurangan dan ketidaksempurnaan.
C. Abad Pertengahan
Zaman abad pertengahan sering atau Middle Age. Zaman
ini terjadi pada abad 6 Masehi sampai sekitar abad 14 Masehi. Zaman abad
pertengahan ditandai dengan tampilnya para teolog di bidang ilmu
pengetahuan, hal ini menyebabkan
aktivitas ilmiah terkait erat dengan aktivitas keagamaan.
Abad
Pertengahan merupakan abad kebangkitan religi di Eropa.Pada masa ini agama
berkembang dan memengaruhi hampir seluruh kegiatan manusia, termasuk
pemerintahan. Sebagai konsekuensinya, sains yang telah berkembang di masa zaman
klasik dipinggirkan dan dianggap lebih sebagai ilmu sihir yang mengalihkan
perhatian manusia dari ketuhanan. Masa ini ilmu pengetahuan dan kesenian
dimanfaatkan untuk kepentingan religi (Pranoto, 2012).
Menurut
Karim (2014) zaman ini masih berhubungan dengan zaman sebelumnya. Karena awal
mula zaman ini pada abad 6 M sampai sekitar abad 14 M. Zaman ini disebut dengan
zaman kegelapan (The Dark Ages). Zaman ini ditandai dengan tampilnya para
Theolog di lapangan ilmu pengetahuan.Sehingga para ilmuwan yang ada pada zaman
ini hampir semua adalah para Theolog. Begitu pula dengan aktifitas keilmuan
yang mereka lakukan harus berdasar atau mendukung kepada agama. Ataupun dengan
kata lain aktivitas ilmiah terkait erat dengan aktivitas keagamaan.
Zaman
ini filsafat sering dikenal dengan sebagai Anchilla Theologiae (Pengabdi
Agama). Selain itu, yang menjadi ciri khas pada masa ini adalah dipakainya
karya-karya Aristoteles dan Kitab Suci sebagai pegangan. Zaman abad pertengahan
ini ilmu dikembangkan dan diarahkan atas dasar kepentingan agama (Kristen) dan
baru memperoleh kemandiriannya semenjak adnya gerakan Renaissance dan Aufklarun
(Komara, 2011). Oleh karena itu sejak jatuhnya kekaisaran Romawi Barat hingga
kira-kira abad ke-10, di Eropa tidak ada kegiatan dalam bidang ilmu pengetahuan
yang spektakuler yang dapat dikemukakan.
Menjelang berakhirnya abad tengah, ada beberapa kemajuan
yang tampak dalam masyarakat yang berupa penemuan-penemuan. Penemuan-penemuan
tersebut antara lain:
1.
Pembaharuan
penggunaan bajak yang dapat mengurangi penggunaan energi petani.
2.
Kincir
air mulai digunakan untuk menggiling jagung.
3.
Kemajuan
dan pembaharuan dalam bidang perkapalan dan navigasi pelayaran. Perlengkapan
kapal memperoleh kemajuan sehingga kapal dapat digunakan lebih efektif.
Alatalat navigasinya mendapat kemajuan pula.
4.
Kompas
mulai digunakan orang di Eropa.
5.
Keterampilan
dalam membuat tekstil dan pengolahan kulit
6.
Memperoleh
kemajuan setelah orang mengenal alat pemintal kapas.
7.
Kemajuan
lain yang penting pada masa akhir abad tengah adalah keterampilan dalam
pembuatan kertas. Keterampilan ini berasal dari Cina dan dibawa oleh orang
Islam ke Spanyol.
8.
Mengenal
percetakan dan pembuatan bahan peledak.
Berbeda
dengan keadaan di Eropa yang mengalami abad kegelapan, di dunia Islam pada masa
yang sama justru mengalami masa keemasan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penemuan pada masa pertengahan di dunia islam:
1. Zaman
Bani Umayah telah menemukan suatu cara pengamatan astronomi pada abad 7 M.
2. Zaman
keemasan kebudayaan Islam juga dilakukan penerjemahan berbagai karya Yunani,
dan bahkan khalifah Al Makmun telah mendirikan Rumah Kebijaksanaan (House of
Wisdom) pada abad 9 M.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang pesat pada dunia Islam tersebut dimungkinkan oleh adanya
pengamatan yang terus menerus dan pencatatam yang teratur serta adanya dorongan
dan bantuan dari pihak para raja yang memerintah. Dengan demikian untuk pertama
kalinya dalam sejarah, tiga faktor penting, yaitu politik, agama dan ilmu
pengetahuan, berada pada satu tangan, raja atau sultan. Keadaan ini sangat
menguntungkan perkembangan ilmu pengetahuan lebih lanjut.Selama 600 – 700 tahun
lamanya kemajuan kebudayaan dan ilmu pengetahuan tetap ada pada bangsa-bangsa
yang beragama Islam.
Menurut Slamet Iman Santoso (1997: 64) sumbangan
sarjana Islam dapat diklasifikasikan dalam tiga hal, yaitu :
1.
Menerjemahkan
peninggalan bangsa Yunani dan menyebarluaskannya sedemikian rupa, sehingga
pengetahuan ini menjadi dasar perkembangan dan kemajuan di dunia Barat sampai
sekarang
2.
Memperluas
pengamatan dalam lapangan ilmu kedokteran, obat-obatan, astronomi, ilmu kimia,
ilmu bumi, dan ilmu tumbuh-tumbuhan.
3.
Menegaskan
sistem desimal dan dasar-dasar aljabar.
D. Tokoh
Abad Pertengahan
Istilah skolastik adalah kata sifat yang
berasal dari kata school, yang berarti sekolah. Atau dari kata schuler yang
mempunyai arti kurang lebih sama yaitu ajaran atau sekolahan. Secara garis
besar Filsafat Skolastik abad pertengahan dibagi dua yaitu Periode Skolastik
Kristen dan Periode Skolastik Islam.
1.
Periode
Skolastik Kristen
a) Plotinus
( 204-270 )
Plotinus adalah filosof pertama yang
mengajukan teori penciptaan alam semesta. Teori ini diikuti oleh banyak filosof
Islam. Filsafat Plotinus kebanyakan
bernapas mistik, bahkan tujuan filsafat menurut pendapatnya adalah
mencapai pemahaman mistik. Karena pengaruh agama Kristen kelihatannya sangat
besar filsafatnya berwatak spiritual. Secara umum ajaran plotinus di sebut
Plotinisme atau neoplatonisme.
b) Augustinus
( 354 – 430 )
Agustinus mengganti akal
dengan iman potensi manusia yang diakui pada zaman Yunani diganti dengan kuasa
Allah.Ia mengatakan bahwa kita tidak perlu dipimpin oleh pendapat bahwa
kebenaran itu relative. Kebenaran itu mutlak yaitu ajaran agama.
c)
Boethius
Boethius adalah philosof
yang sama dengan Augustinus dan memiliki gaya yang hampir serupa. Bukunya yang
berjudul The Consolation of Philosophy,
merupakan buku 6 filsafat yang klasik. Selain buku itu ia juga menulis
karya-karya yang berpengaruh pada abad pertengahan. Boethius sebagai penemu quadrium yang
merupakan bidang studi pokok pada abad pertangahan. Ia dianggap sebagai filosof
skolastik yang pertama.
d) Anselmus ( 1033-1109 )
Anselmus berpegang pada
motto yang juga dipegang Agustinus, "Saya percaya agar dapat mengerti"
maksud pernyataan itu adalah bahwa tanpa wahyu, tidak ada kebenaran karena itu
mereka yang mencari kebenaran harus beriman dahulu pada wahyu tersebut.Anselmus
mengemukakan argumentasi ontologi (informasi yang dapat mengarah ke penemuan
sesuatu yang penting) untuk percaya kepada Allah. Singkatnya, ia menyatakan
bahwa rasio manusia membutuhkan ide mengenai suatu Pribadi yang sempurna
(Allah), oleh sebab itu pribadi tersebut harus ada. Ide ini telah menawan hati
banyak filsuf dan teolog sepanjang masa.
e)
Thomas
Aquinas (1225-1274)
Hanya ada dua kekuatan
yang menggerakkan gemuruhnya dunia agama dan filsafat. Aquinas membicarakan
kedua-duanya, hakikat masing-masing, serta hubungan keduaduanya, kebenaran
ajaran Tuhan tidak mungkin dapat diketahui dan diukur dengan akal. Kebenaran
ajaran Tuhan diterima dengan iman.Sesuatu yang tidak dapat diteliti dengan akal
adalah objek iman.Berdasarkan uraian itu dapat diketahui dua jalur pengetahuan
dalam filsafat Aquinas.jalur itu ialah jalur akal yang
dimulai dari manusia dan berakhir pada Tuhan, dan yang kedua ialah jalur iman
yang dimulai dari Tuhan (wahyu), didukung oleh akal.
2.
Periode
Skolastik Islam
Kurang lebih dua abad setelah Augustinus
meninggal, agama Islam diturunkan di jazirah Arab.para ahli pikir Islam (Periode
Skolastik Islam) yaitu, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd
dan lainnya. Peran mereka sangat besar sekali tidak hanya dalam pemikiran
filsafat saja, akan tetapi para ahli pikir Islam tersebut memberikan sumbangan
yang tidak kecil bagi Eropa, yaitu dalam bidang ilmu pengetahuan (Maksum,
2016).
a) Al-Kindi
( 801-865 M )
Zaman Al-Kindi
terjadi penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab dan diduga ia pun
aktif menerjemahkan (Praja, 2010). Al
Kindi (nama latinnya Alkindus) menulis buku berkisar 241 buah di bidang fisika
tentang optika geometris, cabang fisika yang mempelajari jalan sinar, gelombang
bunyi dan musik. Selain itu ia menulis bidang kimia, geografi, kedokteran dan
matematika.
b) Al-Farabi
(870-950 M)
Pokok-pokok
filsafat Al-Farabi sebagai berikut:
1) Metafisika
Al-Farabi
Al-Farabi
sependapat dengan Plato, yang menyatakan bahwa alam ini baru terjadi dari Tuhan sebagai akal murni adalah wujud
pertama, berfikir tentang dirinya sendiri. Maka lahirlah wujud kedua yang
disebut akal pertama. Tingkat wujudnya adalah wujud yang terendah adalah materi
abstrak, tingkat yang lebih tinggi dari itu adalah ketika materi itu menerima
bentuk pertama yang berupa unsur-unsur seperti api, air, tanah, wujud mineral
yaitu seperti emas perak, besi, tembaga, dll.
2) Filsafat
kenegaraan
Al-Farabi dalam bukunya Ara’ al-madinatul al-fadilah,
menjelaskan pendapat tentang Negara utama, ia membagi masyarakat kedalam dua
macam. Pertama, masyarakat sempurna yaitu masyarakat yang mengandung
keseimbangan antara unsur-unsurnya, seperti keseimbangan yang ada dalam tubuh
manusia.Kedua, masyarakat yang tidak sempurna adalah masyarakat yang bodoh dan
fasik serta hanya mencari kesenangan jasmaninya saja.Mengenai etika kenegaraan,
Al-Farabi mengemukakan teori bahwa setiap keadaan pasti ada pertentangan.Seperti
dalam alam hewani, yang kuat menindas yang lemah.
c)
Ibnu
Sina ( 980-1037 M )
Ibnu Sina
dibidang kedokteran ia menulis bukunya Al-Qanun yang meliputi semua yang
bertalian dengan ilmu kedokteran, seperti fisiologi, anatomi dan pengobatan. Ia
mengatakan bahwa Tuhan itu adalah Al’Aqlu (akal). Karya terpentingnya adalah
Qanun Al-Tibb menjadi buku teks selama sekitar lima abad di berbagai perguruan
tinggi Eropa, dia juga melakukan analisis berbagai bentuk energi: panas, gerak,
cahaya serta analisis konsep gaya dan vakum (Kuswanjoyo, 2008)
d)
Al-Ghazali
( 1058-1111 M )
1)
Epistemology
Al-Ghazali Awalnya ia berpendapat bahwa pengetahuan adalah hal-hal yang
ditangkap oleh panca indra. Ternyata menurutnya panca indra juga berdusta,
kemudia ia meletakkan kepercayaan pada akal.
2)
Metafisika
Al-Ghazali Menurut Al-Ghazali ilmu tuhan adalah suatu tambahan
3)
Kritikannya
terhadap filosof Al-Ghazali menentang menentang argument filsafat para filosof
Yunani dan filosof Islam dalam banyak masalah. Ia menentang dalil filsafat
Aristoteles tentang terjdinya alam.
e)
Ibnu
Rusyd ( 1126-1198 M )
Ibnu Rusyd di dunia islam di kenal dengan ahli hukum dan filosof.
Aliran filsafat Ibnu Rusyd adalah rasional. Ibnu Rusyd menjunjung tinggi akal
pikiran daan menghargai peranan akal. Karya-karya ilmiahnya banyak membicarakan
masalah kedokteran, astronomi dan fisika.Banyak kalangan mengatakan bahwa
rasionalitas Ibnu Rusyd telah mewarnai pemikiran keilmuan barat.
E. Zaman Modern
Istilah “modern” ini muncul
bukan tanpa alasan, kata ini sebetulnya memiliki sejarah yang panjang dan
menggemparkan, muncul sebagai simbol antitesis, perlawanan, pemberontakan, dan
penolakan terhadap apa yang lampau dan tradisional. Karenanya, tidak heran apabila
modern selalu berlawanan dengan tradisional (Maksum, 2016).
Menurut
Maksum (2016) ada beberapa kriteria pemikiran yang bisa disebut “modern”. Pada
umumnya kriteria modern itu adalah apabila ada sesuatu yang baru, lain dengan
biasanya, berada dan bahkan bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan, tradisi
atau adat istiadat termasuk adat keagamaan. Oleh karena itu, sesuatu bisa
disebut “modern” apabila ada gerakan atau dinamika untuk menolak atau
meninggalkan hal-hal yang dianggap sebagai masa lalu dan menganut hal-hal yang
dianggap baru.
Sebagian ciri yang patut
mendapat perhatian dalam epistemologis perkembangan ilmu pada masa modern
adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Pandangan itu
merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles, yaitu bahwa ilmu pengetahuan
sempurna tak boleh mencari untung, namun harus bersikap kontemplatif, diganti
dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari untung, artinya dipakai
untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi ini. Pada abad-abad berikutnya, di
dunia barat dan di dunia luar barat, dijumpai keyakinan dan kepercayaan bahwa
kemajuan yang dicapai oleh pengetahuan manusia khususnya ilmu-ilmu alam, akan
membawa perkembangan manusia pada masa depan yang semakin gemilang dan makmur.
Sebagai akibatnya, ilmu pengetahuan selama masa modern sangat mempengaruhi dan
mengubah manusia dan dunianya sehingga terjadilah revolusi I (dengan pemakaian
mesin-mesin mekanis), lalu revolusi II (dengan pemakaian listrik dan titik awal
pemakaian sinar-sinar), dan kemudian revolusi III yang ditandai dengan
penggunaan komputer yang sedang kita saksikan dewasa ini.
Dengan
demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan mempunyai peranan
penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia, dan dengan itu pula
muncul semacam kecenderungan yang terjalin pada jantung setiap ilmu pengetahuan
dan juga para ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan dan perumusan
berikutnya. Sedangkan perkembangan ilmu pengetahuan di zaman kontemporer
ditandai dengan berbagai teknologi canggih. Teknologi dan informasi termasuk
salah satu yang mengalami kemajuan yang pesat. Mulai dari komputer, satelit
komunikasi, internet, dan lain-lain. Manusia dewasa ini memiliki mobilitas yang
begitu tinggi, karena pengaruh teknologi komunikasi dan informasi. Bidang ilmu
lain juga mengalami kemajuan pesat, sehingga terjadi spesialisasi-spesialisasi
ilmu yang semakin tajam. Ilmuwan kontemporer mengetahui hal yang sedikit tetapi
secara mendalam. Ilmu kedokteran pun semakin dalam spesialisasi dan
subspesialisasi. Demikian bidang-bidang ilmu lain di samping kecenderungan lain
adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan lainnya, sehingga dihasilkannya
bidang ilmu baru seperti bioteknologi dan psikolinguistik.
Filsafat
modern lahir melalui proses panjang yang berkesinambungan, dimulai dengan
munculnya abad Renaissance. Istilah
ini diambil dari bahasa Prancis yang berarti kelahiran kembali. Karena itu,
disebut juga dengan zaman pencerahan (Aufklarung). Pencerahan kembali
mengandung arti “munculnya kesadaran baru manusia”
terhadap dirinya (yang selama ini dikungkung oleh gereja). Manusia menyadari
bahwa dialah yang menjadi pusat dunianya bukan lagi sebagai obyek dunianya.
Perkembangan
ilmu pada zaman modern hanyalah perluasan dari perkembangan ilmu pada zaman
renaisans, misalnya temuan Brahe dan Keppler sampai saat ini masih digunakan di
dalam bidang astronomi, walaupun dilakukan perbaikan seperlunya. Di zaman
modern, pemikiran maju manusia membawa kemajuan dengan langkah-langkah besar,
seperti penemuan mesin uap, penemuan listrik, penemuan atom, elektron,
televisi, roket, dan penjelajahan ruang angkasa (Rahmat, et al. 2015).
Zaman
modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah. Perkembangan ilmu
pengetahuan pada zaman modern ini sesungguhnya sudah dirintis sejak zaman Renaissance. Awal mula suatu masa
ditandai oleh usaha besar dari Descartes untuk memberikan kepada filsafat suatu
bangunan yang baru. Filsafat berkembang bukan pada zaman Renaissance itu, melainkan kelak pada zaman sesudahnya (zaman
modern).
Jadi, zaman Modern filsafat
didahului oleh zaman Renaissance. Sebenarnya secara esensial zaman Renaissance
itu, dalam filsafat, tidak berbeda dari zaman modern. Ciri-ciri filsafat Renaissance
ada pada filsafat modern. Tokoh pertama filsafat modern adalah Descartes.
Pada filsafat kita menemukan ciri-ciri Renaissance tersebut. Ciri itu
antara lain ialah menghidupkan kembali Rasionalisme Yunani (Renaissance),
Individualisme, Humanisme, lepas dari pengaruh agama dan
lain-lain.
Filsafat modern menampakkan
karakteristiknya dengan lahirnya aneka aliran-aliran besar filsafat, yang
diawali oleh Rasionalisme dan Empirisme. Selain kedua aliran itu,
juga akan diketengahkan aliran-aliran besar lainnya yang ikut berperan mengisi
lembaran filsafat modern, yaitu idealisme, materialisme, positivisme,
fenomenologi, eksistensialisme dan pragmatisme.
Filsafat
abad modern pada pokoknya ada 3 aliran:
1)
Aliran Rasionalisme dengan tokohnya Rene Descartes (1596-1650 M).
2)
Aliran Empirisme dengan tokohnya Francis Bacon (1210-1292 M).
3)
Aliran Kriticisme dengan tokohnya Immanuel Kant (1724-1804 M).
Para filsuf zaman modern menegaskan
bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga
dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana
yang berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa
sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal).
Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan
itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kriticisme,
yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.
F. Aliran
dan Tokoh pada Zaman Modern
1.
Rasionalisme
Latar belakang munculnya konsep pemikiran Rasionalisme ialah
keinginan untuk membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional (skolastik),
yang pernah diterima, tetapi ternyata tidak mampu menangani hasil-hasil yang
dihadapi. Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal
(reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes
pengetahuan. Rasionalisme mangajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara
berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah
logika. Rasionalisme juga merupakan aliran pemikiran yang berpendapat bahwa
sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal).
Pengalaman hanya dapat dipakai untuk
meneguhkan pengetahuan yang didapat oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran
dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti. Metode
yang diterapkan adalah deduktif, teladan yang dikemukakan adalah ilmu
pasti. Rasionalisme ada dua macam: dalam
bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme adalah
lawan dari otoritas; dalam bidang filsafat rasionalisme adalah lawan empirisme.
Rasionalisme dalam bidang agama
biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama, rasionalisme dalam bidang
filsafat terutama berguna sebagai teori pengetahuan. Sebagai lawan empirisme,
rasionalisme berpendapat bahwa sebagian dan bagian penting pengetahuan datang
dari penemuan akal. Contoh yang paling jelas ialah pemahaman kita tentang
logika dan matematika. Penemuan-penemuan logika dan matematika begitu pasti.
Kita tidak hanya melihatnya sebagai benar, tetapi lebih dari itu kita
melihatnya sebagai kebenaran yang tidak mungkin salah, kebenarannya universal.
Pada zaman modern filsafat, tokoh
pertama rasionalisme ialah Descartes yang akan dibahas setelah ini, bersamaan
dengan itu ada juga tokoh besar rasionalisme lainnya, yaitu Baruch de Spinoza
dan Leibniz.
a) Rene
Descartes (1596-1650)
Rene Descartes lahir di La Haye, 31
Maret 1596 dan meninggal di Stockholm, Swedia, 11 Februari 1650. Descartes
biasa dikenal sebagai Cartesius yang merupakan peletak pondasi aliran
rasionalisme.
Tokoh rasionalisme ini beranggapan
bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran. Dalam buku Discourse de la Methode ia menegaskan
perlunya metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu
dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan
terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan
menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Menurut Zubair (2015) Pandangan
Descartes dalam buku Discourse de la Methode
yang menawarkan empat pedoman yang dapat dipegang agar mencapai pengetahuan
yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Pertama,
tidak pernah menerima suatu hal sebagai benar yang tidak dikenal sebagai benar
tanpa bukti. Artinya, menghindarkan diri dari ketergesa-gesaan dan tidak
mengandaikan apapun lagi dalam pertanyaan-pertanyaanku kecuali apa yang datang
demikian terang dan jelas pada akalbudiku. Kedua,
membagi-bagikan persoalan yang diteliti dalam bagian-bagian sebanyak
mungkin, dengan mempertimbangkan kebutuhan untuk memecahkannya. Ketiga, menjalankan pikiran secara
teratur, mulai dari hal yang paling sederhana ke hal yang paling rumit. Keempat, membuat verifikasi untuk
melihat apakah pengetahuan yang telah diperoleh adalah pengetahuan yang
bersifat terang dan jelas.
Tentu
saja pandangan Descartes yang dikenal sebagai “Bapak Filsafat Modern” memiliki
banyak kelemahan, sebab ia sangat dipengaruhi oleh cara kerja ilmu-ilmu pasti.
Namun pandangannya yang kritis dan menggunakan keraguan sebagai metode sangat
menarik untuk dikembangkan dalam skala dan proyeksi yang luas dalam memahami
kebenaran (Zubair, 2015).
Descartes mengemukakan dalilnya yang
paling terkenal yaitu Cogito Ergo Sum, yang
diterangkannya bahwa dalam semua yang diragukannya ada satu hal yang pasti,
orang yang meragukan, dan orang ini harus ada. Oleh karena itu, meragukan
adalah berpikir, dan berpikir adalah mengada.
b) Baruch
de Spinoza (1632-1677)
Baruch de Spinoza,
dalam bahasa Latin disebut Benedictus dan dalam bahasa Portugis dengan Bento.
Spinoza lahir di Amesterdam, Belanda tahun 1632 dan wafat tahun 1677 di Den
Haag. Sebagai filsuf pengikut rasionalisme, Spinoza sangat
tertarik kepada Descartes.
Spinoza mencita-citakan suatu system
berdasarkan rasionalisme, untuk mencapai kebahagiaan bagi
manusia. Menurutnya aturan dan hukum yang terdapat pada semua hal tidak lain
dari aturan dan hukum yang terdapat pada idea. Sebagai dasar segala-galanya
harus diterima sesuatu yang tak terdasarkan kepada yang lain, jadi yang mutlak.
Berbeda
dengan Descartes, sesuai dengan semboyannya “Deus sen Natura” (Tuhan atau alam), Spinoza adalah seorang
rasionalis yang mistik. Menurut
Spinoza, seluruh kenyataan merupakan kesatuan, dan kesatuan sebagai
satu-satunya substansi sama dengan Tuhan atau alam. Segala sesuatu termuat
dalam Tuhan-alam. Tuhan sama dengan aturan kosmos, Kehendak Tuhan berarti sama
dengan kehendak alam, sehingga hukum-hukum alam sama dengan kehendak
c) Leibniz
(1646-1716)
Leibniz
lahir di Jerman dengan nama lengkap Gottfried Wilhelm von Leibniz. Sama halnya
dengan Spinoza, Leibniz termasuk pengagum sekaligus pengkritik Descartes. Ia
memberi argumentasi bahwa tak ada yang terjadi tanpa adanya sesuatu alasan.
Leibniz merupakan filosof Jerman dengan pusat
metafisikanya adalah idea tentang substansi yang dikembangkan dalam
konsep monad. Metafisika Leibniz sama memusatkan perhatian
pada substansi, yaitu prinsip akal yang mencukupi, yang secara
sederhana dapat dirumuskan “sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan Tuhan harus
mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakan-Nya. Leibniz berpendapat bahwa
substansi itu banyak, ia menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad berbeda
satu dari yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad yang
tidak dicipta) adalah pencipta monad-monad itu.
2.
Empirisme
Pada filsafat modern ada beberapa
aliran salah satunya yaitu aliran empirisme. Empirisme berasal dari bahasa
Yunani “empiris” yang mempunyai arti inderawi. Empirisme adalah aliran yang
menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Selain itu, empirisme juga
bisa diartikan sebagai kesan-kesan yang ditimbulkan oleh panca indera. Aliran
empirisme berkembang di Inggris mulai abad 17-18.
Empirisme berpendapat bahwa
pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal,
melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata,
lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang
sesuai dengan pengalaman manusia.
Golongan empirisme atau seseorang
yang beraliran empirisme berpendirian bahwa kebenaran berasal dari pengalaman
inderawi. Selain itu, pengetahuan juga didapatkan melalui pengalaman kehidupan
sehari-hari. Lebih jauh, penganut empirisme beranggapan bahwa pengalaman
merupakan akibat suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi, yang kemudian
dipahami oleh otak. Lalu akibat dari rangsangan tersebut terbentuklah
tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat-alat inderawi
tersebut.
Namun
dalam aliran empirisme, menolak kuat hukum kausalitas atau hubungan sebab
akibat. Karena dalam empirisme ide muncul setelah kita melihat sesuatu. Adapun
tokoh-tokoh aliran empirisme yaitu : John Locke dengan corak pemikirannya
“manusia sebagai tabula rasa”. Dia mengibaratkan manusia terlahir seperti
kertas putih, dan melalui pengalaman-pengalamannya lah kertas itu terisi.
Dalam empirisme terdapat ajaran-ajaran pokok antara
lain :
a)
Pandangan
bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang
dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
b)
Pengalaman inderawi
adalah satu-satunya sumber pengetahuan dan bukan akal atau rasio.
c)
Semua yang kita ketahui
pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
d)
Semua pengetahuan turun
secara langsung dari data inderawi.
e)
Pengetahuan tentang
realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita.
Namun, aliran ini mempunyai
kelemahan yaitu : indera sifatnya terbatas, indera sering menipu atau ilusi,
objek juga menipu. Sebagai contoh, ketika kita melihat rel kereta api yang
sedang memuai indera kita melihat namun sebenarnya hal tersebut tidak ada.
Jadi, karena keterbatasan indera sehinnga muncullah rasionalisme.
Aliran Empirisme dibangun oleh
Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami
sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke dan David Hume.
a) Francis
Bacon (1210-1292)
Menurut Francis Bacon bahwa pengetahuan yang
sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan inderawi
dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati.
Pengetahuan haruslah dicapai dengan induksi. Jadi pemikiran Francis
Bacon ini sangat bertentangan dengan pemikiran para filosof aliran rasionalis.
b) Thomas Hobbes (1588-1679)
Menurut Thomas Hobbles berpendapat bahwa
pengalaman indrawi sebagai permulaan segala pengetahuan. Hanya sesuatu
yang dapat disentuh dengan indralah yang merupakan kebenaran. Pengetahuan
intelektual (rasio) tidak lain hanyalah merupakan pengabungan data-data indrawi
belaka.
c) John
Locke (1632-1704)
John Locke lahir di Inggris pada 29
Agustus 1632 dan meninggal
pada 28 Oktober 1704 M. Karenanya dia disebut sebagai filsuf Inggris dengan
pandangan empirisme. Locke sering disebut sebagai tokoh yang memberikan titik terang
dalam perkembangan psikologi. Teori yang sangat penting darinya adalah tentang gejala kejiwaan adalah
bahwa jiwa itu pada saat mula-mula seseorang dilahirkan masih bersih bagaikan
sebuah “tabula rasa”.
Bila rasionalisme mengatakan bahwa
kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia
yang diperoleh melalui panca indera. Dengan ungkapan singkat Locke: Segala
sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih
dari sehelai kertas yang masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu
terisi. Dengan demikian dia menyamakan pengalaman batiniah (yang bersumber dari
akal budi) dengan pengalaman lahiriah (yang bersumber dari empiri).
d) David
Hume (1711-1776)
David Hume lahir di Edinburg Scotland tahun 1711 dan
wafat tahun 1776 di kota yang sama. Pada David Hume-lah aliran empirisme
memuncak. Empirisme mendasarkan pengetahuan bersumber pada pengalaman, bukan
rasio. Hume memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu
dapat bersifat lahiriah (yang menyangkut dunia) dan dapat pula bersifat batiniah
(yang menyangkut pribadi manusia).
Pemikiran empirisnya terakumulasi
dalam ungkapannya yang singkat yaitu I
never catch my self at any time with out a perception (saya selalu memiliki
persepsi pada setiap pengalaman saya). Dari ungkapan ini Hume menyampaikan
bahwa seluruh pemikiran dan pengalaman tersusun dari rangkaian-rangkaian kesan
(impression). Pemikiran ini lebih maju selangkah dalam merumuskan bagaimana sesuatu
pengetahuan terangkai dari pengalaman, yaitu melalui suatu institusi dalam diri
manusia (impression, atau kesan yang disistematiskan) dan kemudian menjadi
pengetahuan. Di samping itu pemikiran Hume ini merupakan usaha analisis agar
empirisme dapat di rasionalkan teutama dalam pemunculan ilmu pengetahuan yang
di dasarkan pada pengamatan (observasi) dan uji coba (eksperimentasi), kemudian
menimbulkan kesan-kesan, kemudian pengertian-pengertian dan akhirnya
pengetahuan.
3.
Kriticisme
Pendirian aliran Rasionalisme dan
Empirisme sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian
bahwa rasiolah sumber pengenalan atau pengetahuan, sedangkan Empirisme sebaliknya
berpendirian bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber tersebut.
Aliran ini mencoba untuk memadukan
perbedaan pendapat kedua aliran tersebut dengan tokohnya adalah Immanuel Kant (1724-1804). Ia
mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini.
Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah
separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera
kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita
memandang dunia sekitar kita.
Untuk menghilangkan pertentangan di
antara rasionalisme dan empirisme, Kant mengadakan pemaduan di
antara dua aliran ini dalam hal perumusan kebenaran. Dalam kaitan ini Kant
mengatakan: Pengetahuan merupakan hasil kerjasama dua unsur; pengalaman dan
kearifan akal budi. Pengalaman inderawi merupakan unsur a posteriori
(yang datang kemudian), sedangkan akal budi merupakan unsur a priori
(yang datang lebih dahulu).
Kant mengkritik Empirisme dan
Rasionalisme, karena keduanya hanya mementingkan satu dari dua unsur
ini, sehingga hasilnya setiap kali berat sebelah. Padahal, katanya, pengetahuan
selalu merupakan sintesis. Untuk menekan pertentangan itu Kant megadakan tiga
pembedaan perumusan kebenaran, yaitu akal budi (verstand), rasio (vernunft)
dan pengalaman inderawi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan
ilmu pengetahuan hingga seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara
mendadak, melainkan melalui proses bertahap, dan evolutif. Pada zaman pra
Yunani kuno di dunia ilmu pengetahuan dicirikan berdasarkan know how yang dilandasi pengalaman
empiris. Sedangkan pada zaman Yunani kuno sebagai zaman filosofi alam, sebab
tujuan filosofi mereka adalah memikirkan soal alam besar. Darimana terjadinya
alam, itulah yang menjadi soal bagi para filosof pada zaman itu.
Pada
abad pertengahan ditandai dengan
tampilnya para teolog di bidang ilmu pengetahuan, hal ini menyebabkan aktivitas
ilmiah terkait erat dengan aktivitas keagamaan. Pada masa
ini ilmu pengetahuan dan kesenian dimanfaatkan untuk kepentingan religi.
Perkembangan ilmu pada zaman modern
adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Pandangan itu
merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles, yaitu bahwa ilmu pengetahuan
sempurna tak boleh mencari untung, namun harus bersikap kontemplatif, diganti
dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari untung, artinya dipakai
untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi ini. Pada zaman modern ditandai
dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah.
B.
Saran
Kita
sebagai generasi muda penerus bangsa sebaiknya dapat menjadikan perkembangan
pembaharuan ilmu di zaman modern ini sebagai suatu acuan untuk mengisi
hari-hari dalam kehidupan ini dengan dengan hal hal yang positif dan semoga
kita sebagai generasi muda untuk masa depan dapat mengeluarkan ide-ide
cemerlang tentang Ilmu Pengetahuan untuk membuat bangsa kita ini maju di bidang
Keilmuan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Khaidir. (2013). Sejarah dan Perkembangan Filsafat Ilmu. Flat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Vol. 7 (2) hlm:113-125.
Herho, Sandy Hardian Susanto. (2016). Pijar Filsafat Klasik. Bandung: Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarkatan ITB.
Karim, Abdul. (2014). Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Jurnal Fikrah Vol. 2 (1) hlm: 273-289.
Komara, Endang. (2011). Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Bandung: Refika Aditama.
Kriting, Suara. (2013). Sejarah Perkembangan Filsafat. http://suarakritingfree.blogspot.com /2012/09/sejarah-perkembangan- filsafat.html. Diakses 20 Oktober 2020.
Kuswanjono, dkk. (2008). Integrasi Ilmu dan Agama dalam Perspektif Filsafat Mulla Sadra. UNSPECIFIED thesis, UNSPECIFIED.
Maksum, Ali. (2016). Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Mulyono, Slamet Subekti. (2014). Sejarah Pemikiran Modern. Tangerang: Universitas Terbuka.
Muslih, Mohammad. (2016). Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: LESFI.
Pranoto, Budi. (2012). Perkembangan Ilmu Pada Masa Abad Pertengahan. https://afidburhanuddin.files.wordpress.com/2012/05/sejarah perkembangan-ilmu-pada-masa-abad-pertengahan_budi-pranoto_oke.pdf. (18 Oktober 2020)
Praja, Juhaya, S.
(2010). Aliran-aliran Filsafat dan Etika.
Jakarta: Kencana.
Rahmat, et al. (2015). Filsafat Ilmu lanjutan. Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP.
Zubair, Achmad Charris. (2015). Etika Dan Estetika Ilmu Kajian Filsafat Ilmu. Bandung: Nuansa Cendekia.
_ _ _ _ _ _ _
_ _ _ _ _ _ _ _
_ _ _ _ _ _ _
Silahkan download Makalah Filsafat Ilmu Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan di sini
Silahkan download Presentasi Makalah Filsafat Ilmu Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan di sini
No comments