Makalah Filsafat Ilmu Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan

 


SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

 

KATA PENGANTAR

 

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala Rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah.

 

 

 

Penyusun        


DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR.. ii

DAFTAR ISI iii

BAB I  PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang. 1

B.    Rumusan Masalah. 2

C.    Tujuan Penulisan. 2

D.    Manfaat Penulisan. 2

BAB II  SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

A.    Zaman Pra Yunani Kuno. 3

B.    Zaman Yunani Kuno. 4

C.    Abad Pertengahan. 10

D.    Tokoh Abad Pertengahan. 12

E.    Zaman Modern. 16

F.    Aliran dan Tokoh pada Zaman Modern. 19

BAB III  PENUTUP

A.    Kesimpulan. 27

B.    Saran. 27

DAFTAR PUSTAKA.. 28


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

            Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Sebab, hal ini terkait dengan kisah perjalanan peradaban dunia. Selain itu, dengan memahami sejarah ilmu pengetahuan, maka kita bisa memahami asal usul sebuah pemikiran dan belajar tentang hal yang baik dan buruk dari sejarah tersebut. Dengan demikian akan diperoleh sebuah konsep pengetahuan yang lebih baik dan terbaru demi meningkatkan pengetahuan manusia. Banyak kisah yang mewarnai sejarah perkembangan ilmu pengetahuan mulai dari kegagalan sampai penemuan-penemuan yang dianggap spektakuler.

            Perkembangan ilmu pengetahuan hingga seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak, melainkan melalui proses bertahap, dan evolutif. Uraian sejarah perkembangan ilmu pengetahuan mengacu kepada pemikiran filsafat di Barat. Hal ini dapat mencerminkan perkembangan ilmu pengetahuan di Barat secara utuh mampu mempengaruhi peradaban dunia. Diawali dari periode filsafat Yunani yang pada waktu itu terjadi perubahan pola pikir manusia dari mite-mite menjadi yang lebih rasional. Pola pikir mite-mite adalah pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam.

            Karenanya, untuk memahami sejarah perkembangan ilmu pengetahuan harus melakukan pembagian atau klasifikasi secara periodik. Dalam setiap periode sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menampilkan ciri khas tertentu. Seiring dengan perkembangan zaman dan pola pikir manusia yang semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidangnya tercapailah suatu kehidupan baru untuk menunjang perkembangan teknologi dan informasi.

B.    Rumusan Masalah

1.   Bagaimana sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman pra Yunani kuno?

2.   Bagaimana sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman Yunani kuno?

3.   Bagaimana sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada abad pertengahan?

4.   Bagaimana sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern?

C.    Tujuan Penulisan

1.   Mengetahui sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman pra Yunani kuno.

2.   Mengetahui sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman Yunani kuno.

3.   Mengetahui sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada abad pertengahan.

4.   Mengetahui sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern.

D.    Manfaat Penulisan

            Manfaat dari pembuatan makalah ini semoga para pembaca dapat memahami dan mengetahui perkembangan-perkembangan ilmu pada zaman jauh sebelum kita dilahirkan dan sesudah dilahirkan, dari yang tidak mengetahui tentang perkembangan ilmu pengetahuan di zaman dahulu sampai kita dapat mengetahui sejarah perkembangan ilmu pengetahuan tersebut. Dan semoga dengan adanya makalah ini para pembaca dapat menuangkan dan mengeluarkan ide-ide dan bakat ilmu terbaru yang lainnya.     


BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

 

A.    Zaman Pra Yunani Kuno

            Pada masa ini manusia masih menggunakan batu sebagai peralatan. Oleh karena itu, zaman pra Yunani Kuno disebut juga Zaman Batu yang berkisar antara empat juta tahun sampai 20.000 tahun. Antara abad ke-15 sampai 6-SM, manusia telah menemukan besi, tembaga, dan perak untuk berbagai peralatan. Abad kelima belas Sebelum Masehi peralatan besi dipergunakan pertama kali di Irak, tidak di Eropa atau Tiongkok.

            Pada abad ke-6 SM di Yunani muncul lahirnya filsafat. Timbulnya filsafat di tempat itu disebut suatu peristiwa ajaib (the greek miracle). Pada bangsa Yunani, seperti juga pada bangsa-bangsa sekitarnya, terdapat suatu mitologi yang kaya serta luas. Mitologi ini dapat dianggap sebagai perintis yang mendahului filsafat. Mite-mite (cerita kuno yang berisi penafsiran alam semesta) sudah memberi jawaban atas pertanyaan yang hidup dalam hati manusia: dari mana dunia kita? Dari mana kejadian dalam alam? Apa sebab matahari terbit, lalu terbenam lagi? Melalui mite­-mite, manusia mencari keterangan tentang asal usul alam semesta dan tentang kejadian-kejadian yang berlangsung di dalamnya. Mite jenis pertama yang mencari keterangan tentang asal usul alam semesta sendiri biasanya disebut mite kosmogonis, sedangkan mite jenis kedua yang mencari keterangan tentang asal usul serta sifat kejadian dalam alam semesta disebut mite kosmologis. Khusus pada bangsa Yunani ialah mereka mengadakan beberapa usaha untuk menyusun mite-mite yang diceritakan oleh rakyat menjadi suatu keseluruhan yang sistematis. Dalam usaha itu sudah tampaklah sifat rasional bangsa Yunani. Karena dengan mencari suatu keseluruhan yang sistematis, mereka sudah menyatakan keinginan untuk mengerti hubungan mite-mite satu sama lain dan menyingkirkan mite yang tidak dapat dicocokkan dengan mite lain.           

Pengaruh Ilmu Pengetahuan yang pada waktu itu sudah terdapat di Timur Kuno. Orang Yunani tentu berutang budi kepada bangsa-bangsa lain dalam menerima beberapa unsur ilmu pengetahuan dari mereka. Demikianlah ilmu ukur dan ilmu hitung sebagian berasal dari Mesir dan Babylonia pasti ada pengaruhnya dalam perkembangan ilmu astronomi di negeri Yunani. Namun, baru pada bangsa Yunani ilmu pengetahuan mendapat corak yang sungguh-sungguh ilmiah. Pada abad ke-6 Sebelum Masehi mulai berkembang suatu pendekatan yang sama sekali berlainan. Sejak saat itu orang mulai mencari berbagai jawaban rasional tentang problem yang diajukan oleh alam semesta. Logos (akal budi, rasio) mengganti mythos. Dengan demikian filsafat dilahirkan. (Kriting, 2013)

            Pada zaman Pra Yunani Kuno di dunia ilmu pengetahuan dicirikan berdasarkan know how yang dilandasi pengalaman empiris. Di samping itu, kemampuan berhitung ditempuh dengan cara one-to one correspondency atau mapping process. Contoh cara menghitung hewan yang akan masuk dan ke luar kandang dengan kerikil. Namun pada masa ini manusia sudah mulai memperhatikan keadaan alam semesta sebagai suatu proses alam.

B.    Zaman Yunani Kuno

Menurut Sidharta dalam Anwar (2013:116) yang menyebut Zaman Yunani Kuno sebagai zaman filosofi alam, sebab tujuan filosofi mereka adalah memikirkan soal alam besar. Darimana terjadinya alam, itulah yang menjadi soal bagi para filosof pada zaman itu. Selain itu Fuad Hasan dalam Anwar (2013: 116) menyebut masa ini bersifat kosmosentris, yakni para filosof mempertanyakan asal-usul alam semesta dan jagad raya, dengan tujuan menemukan asal muasal segala sesuatu atau yang disebut arche.

Tokoh-tokoh yang terkenal pada zaman Yunani Kuno antara lain:

1.   Thales (625-545 SM)

Thales dikatakan sebagai bapaknya filosofi Yunani, yang saat itu, filosofi diajarkan dengan mulut saja dengan dikembangkan oleh murid-muridnya dari mulut ke mulut juga yang kemudian baru dituliskan oleh Aristoteles (Anwar, 2013:117). Menurut Thales yang menjadi arche adalah air, sebagai hasil perenungannya akan sesuatu yang menyatukan keseluruhan dunia. Dia juga memiliki gagasan ganjil yang menyatakan kalau bumi mengapung di atas air. (Herho, 2016: 22)

2.   Phytagoras (580-500 SM)

Menurut Phytagoras, semesta (kosmos) dipandang sebagai sesuatu yang hidup, dan dipandang sebagai sebagai suatu keseluruhan tanpa akhir (telos) dan kita (atau setidaknya jiwa kita) merupakan bagian darinya. Phytagoras juga mempercayai perpindahan jiwa, karena itu penganut pahamnya dilarang mengonsumsi daging (karena bisa saja itu merupakan reinkarnasi leluhur kita). Filsafat di pandangan merupakan jembatan untuk menyatukan filsuf dan kosmos. Matematika merupakan piranti esensial guna mempelajari forma, dan struktur kenyataan, bagi kaum Pythagorean. Bilangan dipandang sebagai suatu ‘tanda’ keilahian, suatu ‘jalan’ menuju kosmos, dan karenanya sifat – sifat bilangan dapat menyingkapkan pola kosmos. Menurut Pythagoras, segala hal di semesta ini (bahkan keadilan sekalipun), hanya dapat didekati kenyataannya lewat bilangan. (Herho, 2016: 25)

3.   Herkleitos (540 – 480 SM)

Berbeda dengan Thales, berpendapat bahwa segala sesuatunya berasal dari “api”. Menurutnya segala yang “ada” akan selalu berubah, atau ia percaya dengan dinamika abadi yang memang dirancang sesuai dengan logos universal, atau dalam istilah sains modern seringkali disebut sebagai formula. Sehingga menurutnya prinsip dunia ini adalah keselarasan dalam kontradiksi, dan eksistensi tercipta Ketika terjadi pertentangan. Oleh karena itu ia menggambarkannya sebagai “api” yang selalu bergerak, dan bertranformasi. (Herho, 2016: 26)

4.     Parmenidas (515 – 445 SM)

Parmenidas menganggap filsafat “ada” sebagai yang memiliki preferensi pada kekekalan, sebuah “ada” di atas  fluktuasi aliran realitas yang “menjadi”. Ia menganggap jika semua “berubah” maka tidak ada yang bisa dijadikan pegangan menuju ke “jalan kebenaran”. Karena pengetahuan sekunder (empiris dan opini) menurutnya adalah manifestasi-manifestasi tentang “ada”, dan karena selalu berubah maka bukanlah pengetahuan tertinggi bahkan dapat menyesatkan. Sehingga manurutnya pengetahuan “ada” adalah sesuatu yang tetap, malah menjadi sesuatu yang melahirkan pengetahuan.

       Namun selain tiga ilmuwan tersebut, ada tiga ilmuwan besar beserta pemikirannya yang dianggap telah membuat penemuan yang menjadi fondasi filsafat, yakni:

1. Socrates (469-399 SM)

Socrates merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari Yunani, sekaligus merupakan guru Plato. Socrates lah yang mengajari Plato, dan Plato kemudian mengajarkan Aristoteles. Pemikiran Socrates yang terpenting bagi pemikiran filsafat adalah metode penyelidikannya yang dikenal sebagai metode elechos, yang banyak digunakan konsep moral dan pokok. Namun karena tidak ada catatan konkrit atas pemikiran Socrates, yang mana pemikiran-pemikiran Socrates hanya bisa ditemukan dalam tulisan Plato, sehingga keberadaan Socrates sebagai filsuf sering diragukan. (Karim, 2014: 279)

2. Plato (427–347 SM)

a.     Prinsip Dasar Pemikiran Plato

Plato merupakan filsuf pertama yang berusaha memberi jalan tengah terhadap pertentangan pemikiran Herakleitos dan Parmenides. Kalau Herakleitos secara ekstrim hanya mengakui gerak/perubahan dan menolak segala pemikiran tentang permanensi, sedangkan sebaliknya Parmenides hanya mengakui permanensi saja dan menolak segala pemikiran tentang perubahan atau gerak maka Plato berusaha memberikan sintesisnya. Plato berpandangan bahwa di dalam dunia ini manusia hanya mengamati hal-hal yang berubah dan dapat binasa saja. Akan tetapi, sebenarnya di samping hal-hal yang beraneka ragam dan dikuasai oleh gerak serta perubahan itu, tentu ada yang tetap, yang tidak berubah. Plato mengajak orang untuk tidak terpaku oleh kenyataan masa kini. Plato menegaskan, bahwa yang berubah dan bermacam-macam itu dikenal lewat pengalaman indrawi, sedangkan yang tetap dan satu dikenal lewat akal budi manusia.

b.     Dunia yang Tetap dan Dunia yang Serba Berubah

Plato mengajarkan, bahwa realitas seluruhnya terbagi atas dua dunia, yaitu dunia idea sebagai realitas yang tetap, tidak berubah dan abadi, yang hanya terbuka dan dapat dikenal oleh rasio, dan dunia jasmani atau indrawi sebagai realitas yang serba berubah, yang hanya dapat dikenal dan terbuka bagi pancaindra. Plato menegaskan, bahwa baik pandangan Herakleitos maupun Parmenides diakui mengandung kebenaran, dalam arti, keduanya tidak dapat disangkal sepenuhnya. Di satu pihak, harus diakui bahwa ada kenyataan yang serba berubah, seperti dikemukakan Herakleitos, namun itu hanya tentang dunia indrawi saja. Di lain pihak, ada pula kenyataan yang tetap dan tidak berubah, seperti dikemukakan Parmenides, tetapi itu hanya tentang dunia idea saja. Plato juga menjawab masalah; apakah kedua dunia itu senyatanya? Di manakah letak kenyataan sebenarnya? Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan inilah, yang menjadikan Plato dianggap sebagai metafisikus pertama tradisi Barat. Plato menegaskan bahwa yang serba berubah itu memang ada dan dikenal oleh pengamatan indrawi, sedangkan yang tidak berubah atau permanen, yaitu idea-idea, dikenal oleh akal. Oleh karenanya, ada dua bentuk “yang ada” atau realitas, yaitu bentuk yang dapat diamati, yang senantiasa berubah, dan bentuk yang tidak dapat diamati, yang tidak berubah. Hubungan kedua bentuk realitas itu bahwa yang tampak merupakan pengungkapan dari yang tidak tampak. Bahkan Plato menyelesaikan suatu revolusi metafisik dengan pembedaan “ada” dan “menjadi”. Plato berpendapat bahwa pendasaran “menjadi” atau dunia yang berubah tidak memuaskan sebagai objek pengetahuan. Plato berpikir bahwa pengetahuan yang asli adalah pengetahuan tentang sesuatu yang tidak dapat berubah, harus mempunyai landasan bagi objeknya sesuatu yang tidak berubah, sesuatu yang berbeda dengan realitas “menjadi” yang segera berubah. Pengetahuan harus menunjuk pada yang “ada”. (Mulyono, 2014:7)

3. Aristoteles (384–322 SM)

a.     Prinsip Dasar Pemikiran Aristoteles

Aristoteles, seperti halnya Plato, berusaha mendamaikan dan mengatasi pertentangan pemikiran Herakleitos dan Parmenides tentang kualitas yang “ada”. Namun berbeda dengan Plato, Aristoteles justru berpangkal pada dunia indrawi yang serba berubah, yang satu per satu dan konkret, sebagai realitas utama. Dunia idea terbentuk dari realitas indrawi yang bermacam-macam. Realitas yang berubah inilah yang merupakan realitas sejati. Bagi Aristoteles, “ada” dalam arti sebenarnya hanya dimiliki oleh benda-benda konkret. Menurut Aristoteles, yang sungguh-sungguh ada bukanlah yang umum karena yang umum itu hanyalah nama atau sebutan belaka. Contohnya, tentang manusia; yang sejatinya ada itu si Joko, Bambang, Parti, Endang, Prapto, dan seterusnya, yang satu per satu real, individual, berbeda dan bermacam-macam; sedangkan kemanusiaan (idea, yang umum) itu hanya abstraksi saja, tidak real, dan hanya ada di dalam pikiran saja. Bagi Aristoteles, di luar benda-benda yang konkret, dan di sampingnya, tidak ada sesuatu yang berada. Jelaslah, bahwa pemikiran filosofis Aristoteles pertama-tama diarahkan kepada dunia empirik.

b.     Materi dan Bentuk   

Atas pengakuan adanya bermacam-macam yang serba berubah dan unsur kesatuan yang bersifat tetap atau permanen, Aristoteles menampilkan teori hylemorfisme. Hylemorfisme secara etimilogis berasal dari bahasa Yunani hyle, yang berarti materi, dan morphe, yang berarti bentuk. Hyle adalah unsur yang menjadi dasar keragaman dan perubahan, sedangkan morphe adalah unsur kesatuan dan permanensi. Hyle dan morphe merupakan kesatuan pada benda konkret sehingga tak ada hyle tanpa morphe, dan sebaliknya. Berkat hyle-nya sesuatu itu mempunyai identitas (benda itu adalah benda itulah, bukan benda yang lain), sedangkan berkat morphe-nya mempunyai inti yang merupakan kesatuan dari keragaman sesuatu dan dapat dipahami oleh akal budi. Aristoteles mengajarkan bahwa setiap benda jasmani mempunyai bentuk dan materi yang bukan hanya dapat terlihat, melainkan bentuk dan materi sebagai prinsip-prinsip metafisik. Materi adalah prinsip yang sama sekali tidak ditentukan atau terbuka. Bentuk adalah prinsip yang menentukan jenis benda itu, yang menjadikan benda konkret itu disebut demikian, misal meja, kursi. Aristoteles menyampaikan bahwa bentuk adalah bersifat imanen. Materi adalah kenyataan yang belum terwujud, yang belum ditentukan, akan tetapi yang memiliki potensi untuk menjadi terwujud atau ditentukan oleh bentuk. Sekalipun materi baru menjadi nyata apabila dibentuk, namun materi tidak pasif, artinya ada gerak. Setiap benda yang telah berbentuk dapat juga berubah ke bentuk yang lain sehingga setiap realitas mengalami perubahan. Pandangan tentang adanya perubahan ini bukan hanya berlaku bagi benda-benda hasil buatan manusia, melainkan berlaku juga bagi hal-hal alamiah yang mengandung asas tumbuh dan perkembangan di dalamnya, yang memiliki sumber gerak dalam dirinya sendiri.

c.     Konsepsi Aristoteles tentang Perubahan

Gambaran mengenai adanya gerak dan perubahan pada semua realitas, menurut Aristoteles, tercermin pada hubungan antara aktus dan potensi. Potensi adalah dasar kemungkinan (dinamik). Potensi yang dimaksud adalah potensi sebagai kemampuan real subjek yang dapat berubah dari dalam. Bukan kemungkinan murni logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yang dapat dipindahkan atau pohon yang dapat dipotong. Aktus adalah dasar kesungguhan (energia). Aktus adalah “ada” itu sendiri atau merupakan kenyataan objek seperti adanya atau eksistensi sesuatu. Barang sesuatu mungkin karena potensinya dan ia sungguh nyata ada karena aktusnya. Aristoteles menegaskan bahwa yang ada mempunyai potensi untuk berubah. Hubungan antara potensi dan aktus secara hakiki bersifat dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan.

Aristoteles mendefinisikan perubahan atau gerak sebagai “aktualisasi apa yang ada dalam potensi, sejauh sesuatu itu masih ada dalam potensi”. Perubahan adalah peralihan atau gerak potensi ke aktus. Setiap gerak semestinya mewujudkan suatu perubahan dari apa yang ada sebagai potensi ke apa yang ada secara berujud. Pergerakan sendiri, menurut Aristoteles, selalu menunjukkan sesuatu kekurangan dan ketidaksempurnaan.

C.    Abad Pertengahan

            Zaman abad pertengahan sering  atau Middle Age. Zaman ini terjadi pada abad 6 Masehi sampai sekitar abad 14 Masehi. Zaman abad pertengahan ditandai dengan tampilnya para teolog di bidang ilmu pengetahuan,  hal ini menyebabkan aktivitas ilmiah terkait erat dengan aktivitas keagamaan.

            Abad Pertengahan merupakan abad kebangkitan religi di Eropa.Pada masa ini agama berkembang dan memengaruhi hampir seluruh kegiatan manusia, termasuk pemerintahan. Sebagai konsekuensinya, sains yang telah berkembang di masa zaman klasik dipinggirkan dan dianggap lebih sebagai ilmu sihir yang mengalihkan perhatian manusia dari ketuhanan. Masa ini ilmu pengetahuan dan kesenian dimanfaatkan untuk kepentingan religi (Pranoto, 2012).

            Menurut Karim (2014) zaman ini masih berhubungan dengan zaman sebelumnya. Karena awal mula zaman ini pada abad 6 M sampai sekitar abad 14 M. Zaman ini disebut dengan zaman kegelapan (The Dark Ages). Zaman ini ditandai dengan tampilnya para Theolog di lapangan ilmu pengetahuan.Sehingga para ilmuwan yang ada pada zaman ini hampir semua adalah para Theolog. Begitu pula dengan aktifitas keilmuan yang mereka lakukan harus berdasar atau mendukung kepada agama. Ataupun dengan kata lain aktivitas ilmiah terkait erat dengan aktivitas keagamaan.

            Zaman ini filsafat sering dikenal dengan sebagai Anchilla Theologiae (Pengabdi Agama). Selain itu, yang menjadi ciri khas pada masa ini adalah dipakainya karya-karya Aristoteles dan Kitab Suci sebagai pegangan. Zaman abad pertengahan ini ilmu dikembangkan dan diarahkan atas dasar kepentingan agama (Kristen) dan baru memperoleh kemandiriannya semenjak adnya gerakan Renaissance dan Aufklarun (Komara, 2011). Oleh karena itu sejak jatuhnya kekaisaran Romawi Barat hingga kira-kira abad ke-10, di Eropa tidak ada kegiatan dalam bidang ilmu pengetahuan yang spektakuler yang dapat dikemukakan.

            Menjelang berakhirnya abad tengah, ada beberapa kemajuan yang tampak dalam masyarakat yang berupa penemuan-penemuan. Penemuan-penemuan tersebut antara lain:

1.     Pembaharuan penggunaan bajak yang dapat mengurangi penggunaan energi petani.

2.     Kincir air mulai digunakan untuk menggiling jagung.

3.     Kemajuan dan pembaharuan dalam bidang perkapalan dan navigasi pelayaran. Perlengkapan kapal memperoleh kemajuan sehingga kapal dapat digunakan lebih efektif. Alatalat navigasinya mendapat kemajuan pula.

4.     Kompas mulai digunakan orang di Eropa.

5.     Keterampilan dalam membuat tekstil dan pengolahan kulit

6.     Memperoleh kemajuan setelah orang mengenal alat pemintal kapas.

7.     Kemajuan lain yang penting pada masa akhir abad tengah adalah keterampilan dalam pembuatan kertas. Keterampilan ini berasal dari Cina dan dibawa oleh orang Islam ke Spanyol.

8.     Mengenal percetakan dan pembuatan bahan peledak.

              Berbeda dengan keadaan di Eropa yang mengalami abad kegelapan, di dunia Islam pada masa yang sama justru mengalami masa keemasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penemuan pada masa pertengahan di dunia islam:

1.     Zaman Bani Umayah telah menemukan suatu cara pengamatan astronomi pada abad 7 M.

2.     Zaman keemasan kebudayaan Islam juga dilakukan penerjemahan berbagai karya Yunani, dan bahkan khalifah Al Makmun telah mendirikan Rumah Kebijaksanaan (House of Wisdom) pada abad 9 M.

            Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat pada dunia Islam tersebut dimungkinkan oleh adanya pengamatan yang terus menerus dan pencatatam yang teratur serta adanya dorongan dan bantuan dari pihak para raja yang memerintah. Dengan demikian untuk pertama kalinya dalam sejarah, tiga faktor penting, yaitu politik, agama dan ilmu pengetahuan, berada pada satu tangan, raja atau sultan. Keadaan ini sangat menguntungkan perkembangan ilmu pengetahuan lebih lanjut.Selama 600 – 700 tahun lamanya kemajuan kebudayaan dan ilmu pengetahuan tetap ada pada bangsa-bangsa yang beragama Islam.

              Menurut Slamet Iman Santoso (1997: 64) sumbangan sarjana Islam dapat diklasifikasikan dalam tiga hal, yaitu :

1.     Menerjemahkan peninggalan bangsa Yunani dan menyebarluaskannya sedemikian rupa, sehingga pengetahuan ini menjadi dasar perkembangan dan kemajuan di dunia Barat sampai sekarang

2.     Memperluas pengamatan dalam lapangan ilmu kedokteran, obat-obatan, astronomi, ilmu kimia, ilmu bumi, dan ilmu tumbuh-tumbuhan.

3.     Menegaskan sistem desimal dan dasar-dasar aljabar.

D.    Tokoh Abad Pertengahan

              Istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah. Atau dari kata schuler yang mempunyai arti kurang lebih sama yaitu ajaran atau sekolahan. Secara garis besar Filsafat Skolastik abad pertengahan dibagi dua yaitu Periode Skolastik Kristen dan Periode Skolastik Islam.

1.     Periode Skolastik Kristen

a)   Plotinus ( 204-270 )

Plotinus adalah filosof pertama yang mengajukan teori penciptaan alam semesta. Teori ini diikuti oleh banyak filosof Islam. Filsafat Plotinus kebanyakan  bernapas mistik, bahkan tujuan filsafat menurut pendapatnya adalah mencapai pemahaman mistik. Karena pengaruh agama Kristen kelihatannya sangat besar filsafatnya berwatak spiritual. Secara umum ajaran plotinus di sebut Plotinisme atau neoplatonisme.

b)    Augustinus ( 354 – 430 )

Agustinus mengganti akal dengan iman potensi manusia yang diakui pada zaman Yunani diganti dengan kuasa Allah.Ia mengatakan bahwa kita tidak perlu dipimpin oleh pendapat bahwa kebenaran itu relative. Kebenaran itu mutlak yaitu ajaran agama.

c)     Boethius

Boethius adalah philosof yang sama dengan Augustinus dan memiliki gaya yang hampir serupa. Bukunya yang berjudul The Consolation of Philosophy, merupakan buku 6 filsafat yang klasik. Selain buku itu ia juga menulis karya-karya yang berpengaruh pada abad pertengahan.  Boethius sebagai penemu quadrium yang merupakan bidang studi pokok pada abad pertangahan. Ia dianggap sebagai filosof skolastik yang pertama.

d)    Anselmus ( 1033-1109 )

Anselmus berpegang pada motto yang juga dipegang Agustinus, "Saya percaya agar dapat mengerti" maksud pernyataan itu adalah bahwa tanpa wahyu, tidak ada kebenaran karena itu mereka yang mencari kebenaran harus beriman dahulu pada wahyu tersebut.Anselmus mengemukakan argumentasi ontologi (informasi yang dapat mengarah ke penemuan sesuatu yang penting) untuk percaya kepada Allah. Singkatnya, ia menyatakan bahwa rasio manusia membutuhkan ide mengenai suatu Pribadi yang sempurna (Allah), oleh sebab itu pribadi tersebut harus ada. Ide ini telah menawan hati banyak filsuf dan teolog sepanjang masa.

e)     Thomas Aquinas (1225-1274)

Hanya ada dua kekuatan yang menggerakkan gemuruhnya dunia agama dan filsafat. Aquinas membicarakan kedua-duanya, hakikat masing-masing, serta hubungan keduaduanya, kebenaran ajaran Tuhan tidak mungkin dapat diketahui dan diukur dengan akal. Kebenaran ajaran Tuhan diterima dengan iman.Sesuatu yang tidak dapat diteliti dengan akal adalah objek iman.Berdasarkan uraian itu dapat diketahui dua jalur pengetahuan dalam filsafat Aquinas.jalur itu ialah jalur akal yang dimulai dari manusia dan berakhir pada Tuhan, dan yang kedua ialah jalur iman yang dimulai dari Tuhan (wahyu), didukung oleh akal.

2.     Periode Skolastik Islam

              Kurang lebih dua abad setelah Augustinus meninggal, agama Islam diturunkan di jazirah Arab.para ahli pikir Islam (Periode Skolastik Islam) yaitu, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd dan lainnya. Peran mereka sangat besar sekali tidak hanya dalam pemikiran filsafat saja, akan tetapi para ahli pikir Islam tersebut memberikan sumbangan yang tidak kecil bagi Eropa, yaitu dalam bidang ilmu pengetahuan (Maksum, 2016).

a)   Al-Kindi ( 801-865 M )

Zaman Al-Kindi terjadi penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab dan diduga ia pun aktif menerjemahkan (Praja, 2010).  Al Kindi (nama latinnya Alkindus) menulis buku berkisar 241 buah di bidang fisika tentang optika geometris, cabang fisika yang mempelajari jalan sinar, gelombang bunyi dan musik. Selain itu ia menulis bidang kimia, geografi, kedokteran dan matematika.

b)   Al-Farabi (870-950 M)

            Pokok-pokok filsafat Al-Farabi sebagai berikut:

1)      Metafisika Al-Farabi

Al-Farabi sependapat dengan Plato, yang menyatakan bahwa alam ini baru terjadi dari  Tuhan sebagai akal murni adalah wujud pertama, berfikir tentang dirinya sendiri. Maka lahirlah wujud kedua yang disebut akal pertama. Tingkat wujudnya adalah wujud yang terendah adalah materi abstrak, tingkat yang lebih tinggi dari itu adalah ketika materi itu menerima bentuk pertama yang berupa unsur-unsur seperti api, air, tanah, wujud mineral yaitu seperti emas perak, besi, tembaga, dll.

2)      Filsafat kenegaraan

Al-Farabi dalam bukunya Ara’ al-madinatul al-fadilah, menjelaskan pendapat tentang Negara utama, ia membagi masyarakat kedalam dua macam. Pertama, masyarakat sempurna yaitu masyarakat yang mengandung keseimbangan antara unsur-unsurnya, seperti keseimbangan yang ada dalam tubuh manusia.Kedua, masyarakat yang tidak sempurna adalah masyarakat yang bodoh dan fasik serta hanya mencari kesenangan jasmaninya saja.Mengenai etika kenegaraan, Al-Farabi mengemukakan teori bahwa setiap keadaan pasti ada pertentangan.Seperti dalam alam hewani, yang kuat menindas yang lemah.

c)   Ibnu Sina ( 980-1037 M )

Ibnu Sina dibidang kedokteran ia menulis bukunya Al-Qanun yang meliputi semua yang bertalian dengan ilmu kedokteran, seperti fisiologi, anatomi dan pengobatan. Ia mengatakan bahwa Tuhan itu adalah Al’Aqlu (akal). Karya terpentingnya adalah Qanun Al-Tibb menjadi buku teks selama sekitar lima abad di berbagai perguruan tinggi Eropa, dia juga melakukan analisis berbagai bentuk energi: panas, gerak, cahaya serta analisis konsep gaya dan vakum (Kuswanjoyo, 2008)

d)   Al-Ghazali ( 1058-1111 M )

1)      Epistemology Al-Ghazali Awalnya ia berpendapat bahwa pengetahuan adalah hal-hal yang ditangkap oleh panca indra. Ternyata menurutnya panca indra juga berdusta, kemudia ia meletakkan kepercayaan pada akal.

2)      Metafisika Al-Ghazali Menurut Al-Ghazali ilmu tuhan adalah suatu tambahan

3)      Kritikannya terhadap filosof Al-Ghazali menentang menentang argument filsafat para filosof Yunani dan filosof Islam dalam banyak masalah. Ia menentang dalil filsafat Aristoteles tentang terjdinya  alam.

e)   Ibnu Rusyd ( 1126-1198 M )

Ibnu Rusyd di dunia islam  di kenal dengan ahli hukum dan filosof. Aliran filsafat Ibnu Rusyd adalah rasional. Ibnu Rusyd menjunjung tinggi akal pikiran daan menghargai peranan akal. Karya-karya ilmiahnya banyak membicarakan masalah kedokteran, astronomi dan fisika.Banyak kalangan mengatakan bahwa rasionalitas Ibnu Rusyd telah mewarnai pemikiran keilmuan barat.

 

E.    Zaman Modern

            Istilah “modern” ini muncul bukan tanpa alasan, kata ini sebetulnya memiliki sejarah yang panjang dan menggemparkan, muncul sebagai simbol antitesis, perlawanan, pemberontakan, dan penolakan terhadap apa yang lampau dan tradisional. Karenanya, tidak heran apabila modern selalu berlawanan dengan tradisional (Maksum, 2016).

            Menurut Maksum (2016) ada beberapa kriteria pemikiran yang bisa disebut “modern”. Pada umumnya kriteria modern itu adalah apabila ada sesuatu yang baru, lain dengan biasanya, berada dan bahkan bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan, tradisi atau adat istiadat termasuk adat keagamaan. Oleh karena itu, sesuatu bisa disebut “modern” apabila ada gerakan atau dinamika untuk menolak atau meninggalkan hal-hal yang dianggap sebagai masa lalu dan menganut hal-hal yang dianggap baru.

            Sebagian ciri yang patut mendapat perhatian dalam epistemologis perkembangan ilmu pada masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Pandangan itu merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles, yaitu bahwa ilmu pengetahuan sempurna tak boleh mencari untung, namun harus bersikap kontemplatif, diganti dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari untung, artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi ini. Pada abad-abad berikutnya, di dunia barat dan di dunia luar barat, dijumpai keyakinan dan kepercayaan bahwa kemajuan yang dicapai oleh pengetahuan manusia khususnya ilmu-ilmu alam, akan membawa perkembangan manusia pada masa depan yang semakin gemilang dan makmur. Sebagai akibatnya, ilmu pengetahuan selama masa modern sangat mempengaruhi dan mengubah manusia dan dunianya sehingga terjadilah revolusi I (dengan pemakaian mesin-mesin mekanis), lalu revolusi II (dengan pemakaian listrik dan titik awal pemakaian sinar-sinar), dan kemudian revolusi III yang ditandai dengan penggunaan komputer yang sedang kita saksikan dewasa ini.

            Dengan demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan mempunyai peranan penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia, dan dengan itu pula muncul semacam kecenderungan yang terjalin pada jantung setiap ilmu pengetahuan dan juga para ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan dan perumusan berikutnya. Sedangkan perkembangan ilmu pengetahuan di zaman kontemporer ditandai dengan berbagai teknologi canggih. Teknologi dan informasi termasuk salah satu yang mengalami kemajuan yang pesat. Mulai dari komputer, satelit komunikasi, internet, dan lain-lain. Manusia dewasa ini memiliki mobilitas yang begitu tinggi, karena pengaruh teknologi komunikasi dan informasi. Bidang ilmu lain juga mengalami kemajuan pesat, sehingga terjadi spesialisasi-spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Ilmuwan kontemporer mengetahui hal yang sedikit tetapi secara mendalam. Ilmu kedokteran pun semakin dalam spesialisasi dan subspesialisasi. Demikian bidang-bidang ilmu lain di samping kecenderungan lain adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan lainnya, sehingga dihasilkannya bidang ilmu baru seperti bioteknologi dan psikolinguistik.

            Filsafat modern lahir melalui proses panjang yang berkesinambungan, dimulai dengan munculnya abad Renaissance. Istilah ini diambil dari bahasa Prancis yang berarti kelahiran kembali. Karena itu, disebut juga dengan zaman pencerahan (Aufklarung). Pencerahan kembali mengandung arti “munculnya kesadaran baru manusia” terhadap dirinya (yang selama ini dikungkung oleh gereja). Manusia menyadari bahwa dialah yang menjadi pusat dunianya bukan lagi sebagai obyek dunianya.

            Perkembangan ilmu pada zaman modern hanyalah perluasan dari perkembangan ilmu pada zaman renaisans, misalnya temuan Brahe dan Keppler sampai saat ini masih digunakan di dalam bidang astronomi, walaupun dilakukan perbaikan seperlunya. Di zaman modern, pemikiran maju manusia membawa kemajuan dengan langkah-langkah besar, seperti penemuan mesin uap, penemuan listrik, penemuan atom, elektron, televisi, roket, dan penjelajahan ruang angkasa (Rahmat, et al. 2015).

            Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah. Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern ini sesungguhnya sudah dirintis sejak zaman Renaissance. Awal mula suatu masa ditandai oleh usaha besar dari Descartes untuk memberikan kepada filsafat suatu bangunan yang baru. Filsafat berkembang bukan pada zaman Renaissance itu, melainkan kelak pada zaman sesudahnya (zaman modern).

            Jadi, zaman Modern filsafat didahului oleh zaman Renaissance. Sebenarnya secara esensial zaman Renaissance itu, dalam filsafat, tidak berbeda dari zaman modern. Ciri-ciri filsafat Renaissance ada pada filsafat modern. Tokoh pertama filsafat modern adalah Descartes. Pada filsafat kita menemukan ciri-ciri Renaissance tersebut. Ciri itu antara lain ialah menghidupkan kembali Rasionalisme Yunani (Renaissance), Individualisme, Humanisme, lepas dari pengaruh agama dan lain-lain.

            Filsafat modern menampakkan karakteristiknya dengan lahirnya aneka aliran-aliran besar filsafat, yang diawali oleh Rasionalisme dan Empirisme. Selain kedua aliran itu, juga akan diketengahkan aliran-aliran besar lainnya yang ikut berperan mengisi lembaran filsafat modern, yaitu idealisme, materialisme, positivisme, fenomenologi, eksistensialisme dan pragmatisme.

Filsafat abad modern pada pokoknya ada 3 aliran:

1) Aliran Rasionalisme dengan tokohnya Rene Descartes (1596-1650 M).

2) Aliran Empirisme dengan tokohnya Francis Bacon (1210-1292 M).

3) Aliran Kriticisme dengan tokohnya Immanuel Kant (1724-1804 M).

            Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kriticisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.

 

 

F.    Aliran dan Tokoh pada Zaman Modern      

1.     Rasionalisme

            Latar belakang munculnya konsep pemikiran Rasionalisme ialah keinginan untuk membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional (skolastik), yang pernah diterima, tetapi ternyata tidak mampu menangani hasil-hasil yang dihadapi. Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Rasionalisme mangajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika. Rasionalisme juga merupakan aliran pemikiran yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal).

            Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang didapat oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti. Metode yang diterapkan adalah deduktif, teladan yang dikemukakan adalah ilmu pasti.  Rasionalisme ada dua macam: dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme adalah lawan dari otoritas; dalam bidang filsafat rasionalisme adalah lawan empirisme.

            Rasionalisme dalam bidang agama biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama, rasionalisme dalam bidang filsafat terutama berguna sebagai teori pengetahuan. Sebagai lawan empirisme, rasionalisme berpendapat bahwa sebagian dan bagian penting pengetahuan datang dari penemuan akal. Contoh yang paling jelas ialah pemahaman kita tentang logika dan matematika. Penemuan-penemuan logika dan matematika begitu pasti. Kita tidak hanya melihatnya sebagai benar, tetapi lebih dari itu kita melihatnya sebagai kebenaran yang tidak mungkin salah, kebenarannya universal.

            Pada zaman modern filsafat, tokoh pertama rasionalisme ialah Descartes yang akan dibahas setelah ini, bersamaan dengan itu ada juga tokoh besar rasionalisme lainnya, yaitu Baruch de Spinoza dan Leibniz.

 

a)   Rene Descartes (1596-1650)

            Rene Descartes lahir di La Haye, 31 Maret 1596 dan meninggal di Stockholm, Swedia, 11 Februari 1650. Descartes biasa dikenal sebagai Cartesius yang merupakan peletak pondasi aliran rasionalisme.

            Tokoh rasionalisme ini beranggapan bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran. Dalam buku Discourse de la Methode ia menegaskan perlunya metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.

            Menurut Zubair (2015) Pandangan Descartes dalam buku Discourse de la Methode yang menawarkan empat pedoman yang dapat dipegang agar mencapai pengetahuan yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Pertama, tidak pernah menerima suatu hal sebagai benar yang tidak dikenal sebagai benar tanpa bukti. Artinya, menghindarkan diri dari ketergesa-gesaan dan tidak mengandaikan apapun lagi dalam pertanyaan-pertanyaanku kecuali apa yang datang demikian terang dan jelas pada akalbudiku. Kedua, membagi-bagikan persoalan yang diteliti dalam bagian-bagian sebanyak mungkin, dengan mempertimbangkan kebutuhan untuk memecahkannya. Ketiga, menjalankan pikiran secara teratur, mulai dari hal yang paling sederhana ke hal yang paling rumit. Keempat, membuat verifikasi untuk melihat apakah pengetahuan yang telah diperoleh adalah pengetahuan yang bersifat terang dan jelas.

            Tentu saja pandangan Descartes yang dikenal sebagai “Bapak Filsafat Modern” memiliki banyak kelemahan, sebab ia sangat dipengaruhi oleh cara kerja ilmu-ilmu pasti. Namun pandangannya yang kritis dan menggunakan keraguan sebagai metode sangat menarik untuk dikembangkan dalam skala dan proyeksi yang luas dalam memahami kebenaran (Zubair, 2015).

            Descartes mengemukakan dalilnya yang paling terkenal yaitu Cogito Ergo Sum, yang diterangkannya bahwa dalam semua yang diragukannya ada satu hal yang pasti, orang yang meragukan, dan orang ini harus ada. Oleh karena itu, meragukan adalah berpikir, dan berpikir adalah mengada.

b)  Baruch de Spinoza (1632-1677)

            Baruch de Spinoza, dalam bahasa Latin disebut Benedictus dan dalam bahasa Portugis dengan Bento. Spinoza lahir di Amesterdam, Belanda tahun 1632 dan wafat tahun 1677 di Den Haag. Sebagai filsuf pengikut rasionalisme, Spinoza sangat tertarik kepada Descartes.

            Spinoza mencita-citakan suatu system berdasarkan rasionalisme, untuk mencapai kebahagiaan bagi manusia. Menurutnya aturan dan hukum yang terdapat pada semua hal tidak lain dari aturan dan hukum yang terdapat pada idea. Sebagai dasar segala-galanya harus diterima sesuatu yang tak terdasarkan kepada yang lain, jadi yang mutlak.

            Berbeda dengan Descartes, sesuai dengan semboyannya “Deus sen Natura” (Tuhan atau alam), Spinoza adalah seorang rasionalis yang mistik.            Menurut Spinoza, seluruh kenyataan merupakan kesatuan, dan kesatuan sebagai satu-satunya substansi sama dengan Tuhan atau alam. Segala sesuatu termuat dalam Tuhan-alam. Tuhan sama dengan aturan kosmos, Kehendak Tuhan berarti sama dengan kehendak alam, sehingga hukum-hukum alam sama dengan kehen­dak 

c)   Leibniz (1646-1716)

            Leibniz lahir di Jerman dengan nama lengkap Gottfried Wilhelm von Leibniz. Sama halnya dengan Spinoza, Leibniz termasuk pengagum sekaligus pengkritik Descartes. Ia memberi argumentasi bahwa tak ada yang terjadi tanpa adanya sesuatu alasan.

            Leibniz merupakan filosof Jerman dengan pusat metafisikanya adalah idea tentang substansi yang dikembangkan dalam konsep monad. Metafisika Leibniz sama memusatkan perhatian pada substansi, yaitu prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederhana dapat dirumuskan “sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan Tuhan harus mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakan-Nya. Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak, ia menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad berbeda satu dari yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya  monad yang tidak dicipta) adalah pencipta monad-monad itu.

2.     Empirisme

            Pada filsafat modern ada beberapa aliran salah satunya yaitu aliran empirisme. Empirisme berasal dari bahasa Yunani “empiris” yang mempunyai arti inderawi. Empirisme adalah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Selain itu, empirisme juga bisa diartikan sebagai kesan-kesan yang ditimbulkan oleh panca indera. Aliran empirisme berkembang di Inggris mulai abad 17-18.

            Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia.

            Golongan empirisme atau seseorang yang beraliran empirisme berpendirian bahwa kebenaran berasal dari pengalaman inderawi. Selain itu, pengetahuan juga didapatkan melalui pengalaman kehidupan sehari-hari. Lebih jauh, penganut empirisme beranggapan bahwa pengalaman merupakan akibat suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi, yang kemudian dipahami oleh otak. Lalu akibat dari rangsangan tersebut terbentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat-alat inderawi tersebut.

            Namun dalam aliran empirisme, menolak kuat hukum kausalitas atau hubungan sebab akibat. Karena dalam empirisme ide muncul setelah kita melihat sesuatu. Adapun tokoh-tokoh aliran empirisme yaitu : John Locke dengan corak pemikirannya “manusia sebagai tabula rasa”. Dia mengibaratkan manusia terlahir seperti kertas putih, dan melalui pengalaman-pengalamannya lah kertas itu terisi.

Dalam empirisme terdapat ajaran-ajaran pokok antara lain :

a)     Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.

b)    Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan dan bukan akal atau rasio.

c)     Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.

d)    Semua pengetahuan turun secara langsung dari data inderawi.

e)     Pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita.

            Namun, aliran ini mempunyai kelemahan yaitu : indera sifatnya terbatas, indera sering menipu atau ilusi, objek juga menipu. Sebagai contoh, ketika kita melihat rel kereta api yang sedang memuai indera kita melihat namun sebenarnya hal tersebut tidak ada. Jadi, karena keterbatasan indera sehinnga muncullah rasionalisme.

            Aliran Empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke dan David Hume.

a)   Francis Bacon (1210-1292)

Menurut Francis Bacon bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan inderawi dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Pengetahuan haruslah dicapai dengan induksi. Jadi pemikiran Francis Bacon ini sangat bertentangan dengan pemikiran para filosof aliran rasionalis.

b)  Thomas Hobbes (1588-1679)

Menurut Thomas Hobbles berpendapat bahwa pengalaman  indrawi sebagai permulaan segala pengetahuan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh dengan indralah yang merupakan kebenaran. Pengetahuan intelektual (rasio) tidak lain hanyalah merupakan pengabungan data-data indrawi belaka.

c)   John Locke (1632-1704)

            John Locke lahir di Inggris pada 29 Agustus 1632 dan meninggal pada 28 Oktober 1704 M. Karenanya dia disebut sebagai filsuf Inggris dengan pandangan empirisme. Locke sering disebut sebagai tokoh yang memberikan titik terang dalam perkembangan psikologi. Teori yang sangat penting  darinya adalah tentang gejala kejiwaan adalah bahwa jiwa itu pada saat mula-mula seseorang dilahirkan masih bersih bagaikan sebuah “tabula rasa”.

            Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh melalui panca indera. Dengan ungkapan singkat Locke: Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu terisi. Dengan demikian dia menyamakan pengalaman batiniah (yang bersumber dari akal budi) dengan pengalaman lahiriah (yang bersumber dari empiri).

d)  David Hume (1711-1776)

            David Hume lahir di Edinburg Scotland tahun 1711 dan wafat tahun 1776 di kota yang sama. Pada David Hume-lah aliran empirisme memuncak. Empirisme mendasarkan pengetahuan bersumber pada pengalaman, bukan rasio. Hume memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat bersifat lahiriah (yang menyangkut dunia) dan dapat pula bersifat batiniah (yang menyangkut pribadi manusia).

            Pemikiran empirisnya terakumulasi dalam ungkapannya yang singkat yaitu I never catch my self at any time with out a perception (saya selalu memiliki persepsi pada setiap pengalaman saya). Dari ungkapan ini Hume menyampaikan bahwa seluruh pemikiran dan pengalaman tersusun dari rangkaian-rangkaian kesan (impression). Pemikiran ini lebih maju selangkah dalam merumuskan bagaimana sesuatu pengetahuan terangkai dari pengalaman, yaitu melalui suatu institusi dalam diri manusia (impression, atau kesan yang disistematiskan) dan kemudian menjadi pengetahuan. Di samping itu pemikiran Hume ini merupakan usaha analisis agar empirisme dapat di rasionalkan teutama dalam pemunculan ilmu pengetahuan yang di dasarkan pada pengamatan (observasi) dan uji coba (eksperimentasi), kemudian menimbulkan kesan-kesan, kemudian pengertian-pengertian dan akhirnya pengetahuan.

3.     Kriticisme

            Pendirian aliran Rasionalisme dan Empirisme sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasiolah sumber pengenalan atau pengetahuan, sedangkan Empirisme sebaliknya berpendirian bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber tersebut.

            Aliran ini mencoba untuk memadukan perbedaan pendapat kedua aliran tersebut dengan tokohnya adalah Immanuel Kant (1724-1804). Ia mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita.

            Untuk menghilangkan pertentangan di antara rasionalisme dan empirisme, Kant mengadakan pemaduan di antara dua aliran ini dalam hal perumusan kebenaran. Dalam kaitan ini Kant mengatakan: Pengetahuan merupakan hasil kerjasama dua unsur; pengalaman dan kearifan akal budi. Pengalaman inderawi merupakan unsur a posteriori (yang datang kemudian), sedangkan akal budi merupakan unsur a priori (yang datang lebih dahulu).

            Kant mengkritik Empirisme dan Rasionalisme, karena keduanya hanya mementingkan satu dari dua unsur ini, sehingga hasilnya setiap kali berat sebelah. Padahal, katanya, pengetahuan selalu merupakan sintesis. Untuk menekan pertentangan itu Kant megadakan tiga pembedaan perumusan kebenaran, yaitu akal budi (verstand), rasio (vernunft) dan pengalaman inderawi.


BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

              Perkembangan ilmu pengetahuan hingga seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak, melainkan melalui proses bertahap, dan evolutif. Pada zaman pra Yunani kuno di dunia ilmu pengetahuan dicirikan berdasarkan know how yang dilandasi pengalaman empiris. Sedangkan pada zaman Yunani kuno sebagai zaman filosofi alam, sebab tujuan filosofi mereka adalah memikirkan soal alam besar. Darimana terjadinya alam, itulah yang menjadi soal bagi para filosof pada zaman itu.

            Pada abad pertengahan ditandai dengan tampilnya para teolog di bidang ilmu pengetahuan, hal ini menyebabkan aktivitas ilmiah terkait erat dengan aktivitas keagamaan. Pada masa ini ilmu pengetahuan dan kesenian dimanfaatkan untuk kepentingan religi.

            Perkembangan ilmu pada zaman modern adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Pandangan itu merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles, yaitu bahwa ilmu pengetahuan sempurna tak boleh mencari untung, namun harus bersikap kontemplatif, diganti dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari untung, artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi ini. Pada zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah.

B.    Saran

            Kita sebagai generasi muda penerus bangsa sebaiknya dapat menjadikan perkembangan pembaharuan ilmu di zaman modern ini sebagai suatu acuan untuk mengisi hari-hari dalam kehidupan ini dengan dengan hal hal yang positif dan semoga kita sebagai generasi muda untuk masa depan dapat mengeluarkan ide-ide cemerlang tentang Ilmu Pengetahuan untuk membuat bangsa kita ini maju di bidang Keilmuan.      


DAFTAR PUSTAKA

 

Anwar, Khaidir. (2013). Sejarah dan Perkembangan Filsafat Ilmu. Flat Justisia            Jurnal Ilmu Hukum Vol. 7 (2) hlm:113-125.

Herho, Sandy Hardian Susanto. (2016). Pijar Filsafat Klasik. Bandung:             Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarkatan ITB.

Karim, Abdul. (2014). Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Jurnal Fikrah   Vol. 2 (1) hlm: 273-289.

Komara, Endang. (2011). Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Bandung:         Refika Aditama.

Kriting, Suara. (2013). Sejarah Perkembangan Filsafat.             http://suarakritingfree.blogspot.com /2012/09/sejarah-perkembangan- filsafat.html. Diakses 20 Oktober 2020.

Kuswanjono, dkk. (2008). Integrasi Ilmu dan Agama dalam Perspektif Filsafat            Mulla Sadra. UNSPECIFIED thesis, UNSPECIFIED.

Maksum, Ali. (2016). Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga             Postmodernisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Mulyono, Slamet Subekti. (2014). Sejarah Pemikiran Modern. Tangerang:      Universitas Terbuka.

Muslih, Mohammad.  (2016). Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar,             Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: LESFI.

Pranoto, Budi. (2012). Perkembangan Ilmu Pada Masa Abad Pertengahan.             https://afidburhanuddin.files.wordpress.com/2012/05/sejarah perkembangan-ilmu-pada-masa-abad-pertengahan_budi-pranoto_oke.pdf.         (18 Oktober 2020)

Praja, Juhaya, S. (2010). Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana.

Rahmat, et al. (2015). Filsafat Ilmu lanjutan. Jakarta: PRENADAMEDIA    GROUP.

Zubair, Achmad Charris. (2015). Etika Dan Estetika Ilmu Kajian Filsafat Ilmu. Bandung: Nuansa Cendekia.


_ _ _ _ _ _ _

_  _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _



Silahkan download Makalah Filsafat Ilmu Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan di sini

Silahkan download Presentasi Makalah Filsafat Ilmu Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan di sini


 

No comments

Powered by Blogger.