Makalah Filsafat Prinsip-prinsip Pengembangan Ilmu

  


 


          PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN ILMU



KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontibusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah.

 

 

 

 

                                                                                                     Penyusun


 

 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang

B.            RUMUSAN MASALAH

C.            TUJUAN

BAB II PEMBAHASAN

Prinsip-Prinsip Pengembangan Ilmu

A.           Prinsip Humanitas

B.            Prinsip Holistik

C.            Prinsip Tanggung Jawab

D.           Prinsip Kontekstualisasi

E.             Prinsip Kultural

BAB III PENUTUP

A.           SIMPULAN

B.            SARAN

DAFTAR PUSTAKA



BAB I PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang

Dalam ruang lingkup kehidupan manusia, ilmu pengetahuan merupakan suatu acuan yang dibutuhkkan dalam setiap kehidupannya. Perkembangan ilmu pengetahuan tidak luput dari perbincangan yang hingga saat ini semakin pesat seiring perkembangan zaman. Ilmu pengetahuan berkembang seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia yang berlangsung secara bertahap. Ilmu pengetahuan tidak terlepas dari prinsip-prinsip pengembangan ilmu, sebagai upaya memperoleh kepuasaan terhadap ilmu yang didapat. Melalui ilmu pengetahuan kita dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar bisa bersaing dengan bangsa lain, maka pendidikan adalah kunci utama dalam menghadapi tantangan tersebut. Melalui pendidikan kita dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Hal ini sejalan dengan pendapat Atmanti (2005) Investasi dalam dunia pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang akan dirasakan manfaatnya beberapa tahun kedepan. Untuk menguatkan pendapat diatas selain pendapat Atmanti terdapat 2 sumber yang dapat menguatkan pernyataan diatas diatas yakni dalam Q.S Al-Mujadilah ayat 11 yang artinya, “Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang- orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”, dan pada H.R Turmudzi yang berbunyi, “ Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat, maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu”.

Pada masa modern sekarang ini, ilmu pengetahuan berkembang dengan sangat pesat. Muncul berbagai disiplin ilmu baru yang merupakan cabang dari ilmu pengetahuan yang sudah ada. Sehingga banyak manusia yang kebingungan untuk memilah ilmu mana yang seharusnya mereka pelajari untuk membantu mencapai tujuan mereka. Disamping itu juga terjadinya pembelajaran ilmu pengetahuan secara campuran yang mengakibatkan orang atau manusia kebingungan dengan karakteristik dan tujuan ilmu yang mereka pelajari.


B.     RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini, ialah: Apa saja yang menjadi prinsip -prinsup dalam pengembangan ilmu?

 

C.     TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan pembuatan makalah ini, ialah untuk memahami prinsip -prinsup dalam pengembangan ilmu.


BAB II PEMBAHAsAN

 

Prinsip-Prinsip Pengembangan Ilmu

Pengetahuan, secara umum, lahir dari suatu kebudayaan yang realistis. Kebudayaan yang realistis adalah karya manusia untuk humanisme. Alasannya, seluruh kebudayaan yang diciptakan oleh manusia, pada kenyataannya ditujukan untuk keberlangsungan kehidupan manusia dan alam secara umum. Berdasarkan hal ini, Watloly, Aholiab (2001), ada empat prinsip kultural (budaya) yang realistis dalam pengembangan epistemologi, yaitu:prinsip humanitas, prinsip holistik, prinsip tanggung jawab, dan prinsip kontekstualisasi.

 

A.     Prinsip Humanitas

Prinsip humanitas menjadi penting di dalam karya budaya, sebab kebudayaan diciptakan oleh manusia untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh manusia. Kebudayaan manusia, dengan sendirinya membuat manusia menjadi humanis di dalam budaya itu sendiri. Tentu, pada pandangan ini terkandung makna bahwa kebudayaan yang tidak humanis tidak akan mengandung nilai pengetahuan dan kebenaran, sebab pada prinsipnya pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang mencerminkan nilai-nilai humanis dari suatu kebudayaan. Humanitas suatu kebudayaan, dengan sendirinya merupakan wujud citra keagungan manusia. citra keagungan manusia di sini adalah gambaran nilai-nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang bernilai pada dirinya dalam mewujudkan nilai-nilai universal manusia. Nilai-nilai kemanusiaan itu sifatnya luhur, dan tidak dapat diganti dengan apa pun.

Prinsip humanitas selalu menekankan bahwa manusia memiliki kedudukan sentral dalam rangka pengembangan epistemologi. Segala usaha, dalam rangka pengembangan epistemologi harus dapat dikembalikan kepada manusia. prinsip ini menegaskan bahwa pengetahuan merupakan realisasi kemampuan-kemampuan kodrat manusia melalui rasio, dan realisasi epistemologinya harus selalu bersifat proses belajar (learning process). Prinsip humanitas sebenarnya mencerminkan suatu epistemologi yang bisa memurnikan berbagai hal yang cenderung bersifat negatif. Hal ini berhubungan dengan keutuhan manusia sebagai subjek dan objek pengembangan epistemologi. Berkaitan dengan hal ini, diperlukan upaya pengembangan epistemologi dengan cara mengemban citra atau nilai-nilai keagungan manusia. Alasannya, melalui proses tersebut manusia bisa


mengungkapkan dinamisme yang terpenting dari kodratnya, yaitu berupa kemampuannya untuk menerima dan kecenderungan untuk mengetahui. Jadi, berdasar prinsip kultural yang humanis dalam pengembangan epistemologi realis, manusia menegaskan dirinya sebagai makhluk yang bernilai, berpikir dan berkehendak. Prinsip inilah yang menempatkan epistemologi realisme sebagai strategi kemanusiaan dalam perjuangan eksistensialnya.

 

B.     Prinsip Holistik

Kedua, Prinsip Holistik. Pengembangan epistemologi yang berwawasan holistik mengandung pengertian bahwa kebenaran pengetahuan selalu bersifat intersubjektif. Alasannya epistemologi merupakan suatu usaha membiarkan pikiran untuk mencapai pengenalan akan esensinya sendiri, berusaha mengekspresikan dan menunjukkan kepada dirinya sendiri tentang dasar-dasar kepastian yang sifatnya utuh, kokoh, serta holistik. Prinsip epistemologi ini menunjukkan bahwa pengetahuan manusia selalu dikaitkan dengan ekspresi mengetahui yang sifatnya relasional. Pengetahuan, dalam hal ini, bukan hanya bersifat mengalami, tetapi mengekspresikan pengalaman sendiri bagi dirinya sendiri. Perhatian utamanya sangat berhubungan dengan dasar pertimbangan tentang kodrat, jangkauan, dan asal dari evidensi pengetahuan. Tentu, pada konteks ini pikiran manusia selalu ditandai oleh adanya perbedaan antara kesan dan kenyataan. Prinsipnya, kepastian senantiasa bersifat bebas atau yang disebut kepastian bebas. Prinsip ini memiliki alasan bahwa manusia mempunyai sumber-sumber inteligibilitas yang lebih besar jangkauannya daripada yang umumnya disadari.

Tujuan dari prinsip holistik, yaitu hendak menunjukkan bahwa pengetahuan mempunyai sifat analogis, di mana kehadiran pengetahuan tidak dinyatakan secara bersamaan. Contohnya, apa yang diketahui secara indrawi tidak sama dengan yang diketahui secara abstrak. Jadi, epistemologi realisme yang bersifat indrawi berbeda dengan epistemologi idealisme yang abstrak. Tentu, dalam hal ini kesadaran selalu terarah kepada yang lain, yang bukan-diri sesungguhnya, dan mempunyai tingkat kejelasan yang berbeda. Pengetahuan selalu diarahkan kepada adanya realitas (Watloly, 2007:198), apa pun pengetahuan itu, dan bagaimanapun didefenisikan. Tentu, dalam hal ini pengetahuan haruslah analog, jika ingin membentuk pengetahuan sesuai dengan realitas yang ada, dan diarahkan kepada kesadaran terhadap manusia. Bartens, K (1983) mempertegas hal


tersebut dengan mengatakan, pengetahuan adalah pengetahauan dari diri manusia yang menyebabkan kesadaran memasuki terang realitas.

Prinsip holistik selalu memerlukan sikap kehati-hatian dalam rangka mencari pernyataan- pernyataan epistemologis yang lebih pasti. Selalu ada jarak antara kepenuhan arti yang termuat dalam pertanyaan utama dan tata pernyataan. Jika isi pernyataan muncul dari sisi eksistensi yang bersifat analog, sifat pengetahuan pun harus analog. Tentu, di sini dibutuhkan kerendahan hati dan keterbukaan total, sebab setiap objek persepsi tidak dapat hadir secara tepat. Dalam hal ini, arti kebenaran dan kepastian epistemologis bersifat majemuk. Artinya, kebenaran dan kejelasan atau ketepatan mengandung unsur konsensus sosial. Pandangan ini, sekaligus menunjukkan bahwa sesungguhnya bagi manusia “melihat” mengandung arti “melihat bersama”.

Prinsip holistik, sebagaimana dijelaskan di atas, mensyaratkan perlunya kerja sama antar berbagai jenis epistemologi yang dimunculkan oleh manusia, yang sifatnya khusus. Namun, pada sisi lain realitas kemanusiaan yang menjadi pusat pengembangan epistemologi beserta permasalahan aktualnya bersifat konkrit dan menerobos melampaui semua spesialisasi. Van Melsen (1985:4) menekankan bahwa spesialisasi dalam ilmu pengetahuan selalu terjadi karena ilmuwan membatasi diri pada suatu wilayah tertentu saja. Akibatnya, masing-masing melakukan observasi dan eksperimen yang berbeda terhadap objek material yang umumnya sama, yaitu manusia. Pandangan Melsen ini mengisyaratkan bahwa manusia dan kemanusiaannya menjadi ajang penelitian, sekaligus konteks pengembangan semua jenis epistemologi khusus. Terhadap realitas kemanusiaan ini, setiap jenis epistemologi khusus itu pun mempunyai tipe hipotesis dan teori yang semestinya menekankan faktor humanisme yang jelas. Jika tidak, semua penelitian beserta hipotesis dan teori yang dihasilkan sebagai suatu epistemologi akan mengalami kemandekan dalam aplikasinya.

 

C.     Prinsip Tanggung Jawab

Prinsip Tanggung Jawab, yakni prinsip yang hendak menunjukkan suatu tahap yang tertinggi dalam pengembangan epistemologi. Prinsip ini hendak menjelaskan bahwa dalam pengetahuan, subjek yang bertanggung jawab dianggap sebagai penyebab salah satu akibat yang sementara berlangsung. Makna terdalam dari prinsip tanggung jawab sangat kaya, di mana subjek yang menyebabkan sesuatu dapat diminta penjelasannya,


dan subjek itu harus menjawab. Subjek harus menjawab setiap permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Jadi, dalam pengembangan epistemologi, sangat diperlukan prinsip tanggung jawab.

Watloly (2007:208) menyebutkan, tanggung jawab ilmuwan juga memiliki arti mendudukkan manusia pada kedudukannya di antara manusia-manusia lain. Pernyataan Watloly ini menegaskan bahwa tanggung jawab selalu menjadi keharusan dari setiap permasalahan yang timbul atas perkataan ataupun perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Prinsip tanggung jawab, dengan sendirinya mengandung unsur humanis yang dalam. Alasannya, setiap ilmu dan pengetahuan yang dihasilkan oleh manusia selalu bersumber dari semua hal yang nyata di sekitarnya. Ilmu dan pengetahuan itu senantiasa diperuntukkan untuk kehidupan manusia, sehingga jika terjadi kesalahan, atau bila ilmu dan pengetahuan tersebut berdampak penurunan derajat hidup manusia maka pada level tersebut diperlukan sikap pertanggung jawaban. Hal inilah yang menjadikan prinsip tanggung jawab memiliki nilai humanis. Orang yang bertanggung jawab pertanda di dalamnya terdapat nilai humanitas yang besar, begitu pun sebaliknya.

Berkaitan dengan budaya, tanggung jawab kultural ke depan membutuhkan usaha yang sungguh sehingga segala sesuatu yang terganggu oleh campur tangan pengetahuan yang sifatnya khusus akan dipulihkan kembali. Alasannya, realitas yang dijalankan oleh pengetahuan khusus selalu cenderung memihak, sehingga harus selalu diberi perhatian terus-menerus. Hal ini mencerminkan diperlukan adanya budaya menilai realitas tatanan alam dan masyarakat sebagai bagian yang mesti diperhatikan dan dipelihara dalam rangka menjaga keseimbangan hidup. Ilmu dan pengetahuan harus mempertimbangkan faktor pemeliharaan alam dan tatanan hidup masyarakat, menjadikannya sebagai budaya dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan. Pengembangan epistemologi semacam ini menuntut sikap tanpa pamrih dam hal tanggung jawabnya. Watloly (2007:211) menyebutkan, sikap tanpa pamrih penting dalam rangka mengatasi ketidakdewasaan manusia. sikap ini memungkinkan manusia untuk semakin belajar mengenal dan menguasai dengan baik akan dirinya dan realitas sekitarnya. Sikap ini bukan saja menginsyafkan manusia untuk selalu kritis terhadap pengembangan epistemologi, melainkan juga menyadarkan manusia mengenai betapa kurang dewasanya manusia dalam mengembangkan epistemologi.


Plato, dalam karyanya Kritias, menyebutkan tanggung jawab moral dan sosial dapat ditegaskan bahwa kalau ilmu pengetahuan bertanggung jawab atas perubahan-perubahan sosial, maka itu berarti ilmu pengetahuan tetap bertanggung jawab atas hal-hal yang terjadi selanjutnya. Artinya, epistemologi bukan saja bersifat sosial, tetapi lebih jauh membutuhkan kehidupan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan prinsip tanggung jawab sosial, sebab di dalamnya terdapat peranan manusia individu yang menonjol dalam kemajuan epistemologi, sehingga harus didukung oleh sistim komunikasi sosial yang terbuka. Tanggung jawab sosial ini ada manusia memiliki fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Prinsip tanggung jawab sosial dalam pengembangan epistemologi yang realistis menunjukkan bahwa suatu pemikiran sosial yang dianut dan diterima luas adalah gagasan yang memenuhi suatu kebutuhan sosial.

 

D.     Prinsip Kontekstualisasi

Prinsip Kontekstualisasi bermakna suatu upaya pengembangan epistemologi berdasarkan nilai-nilai budaya masyarakat setempat. Prinsip kontekstualisasi hendak menekankan bahwa suatu proses kultural yang berakar pada dasar kebudayaan adalah suatu proses imajinasi kreatif manusia sebagai masyarakat. Hal ini hendak menegaskan bahwa pengetahuan, sebagai salah satu unsur kebudayaan hanya dapat diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Epistemologi, dalam hal ini, harus dapat mencerminkan aspirasi dan cita- cita budaya manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Pendekatannya adalah kontekstualisasi yang berakar pada budaya masyarakat.

Kontekstualisasi mengandung arti bahwa kondisi budaya masyarakat dapat memberikan doronganatau pengaruh bagi pengembangan epistemologi. Artinya, epistemologi menyatu dengan seluruh struktur sosial dan tradisi kebudayaan. Selain itu, antara epistemologi dengan struktur sosial dan tradisi kebudayaan memeiliki ketergantungan yang saling mendukung. Dalam hal ini, masing-masing unsur kebudayaan dalam masyarakat mengandung kemungkinan untuk menyumbang, baik pada pertumbuhan maupun perubahan epistemologi. Hal yang sama juga dapat terjadi bahwa setiap unsur kebudayaan dalam masyarakat memiliki pendasaran epistemologis dalam rangka pengusahaan alam kehidupannya.


Epistemologi dan kebudayaan bertumbuh serta berkembang dalam posisi yang saling bergantung dan saling mempengaruhi. Akibatnya, pengembangan epistemologi bergantung pada kondisi kebudayaan masyarakat, dan pengembangan epistemologi mempengaruhi jalannya kebudayaan suatu masyarakat (Watloly, 2007:223). Pengembangan epistemologi yang memperhatikan faktor kontekstual, dengan sendirinya, akan menghasilkan suatu epistemologi realisme. Alasannya, pendekatan kontekstual dalam pengembangan epistemologi akan merujuk pada segala sesuatu yang nampak dan nyata ada di sekitar. Kontekstualisasi tidak bisa mengabaikan realitas masyarakat dan kebudayaannya.

 

E.     Prinsip Kultural

Prinsip Kultural, sebagaimana telah dijelaskan, pada intinya menempatkan manusia sebagai faktor yang penting dalam pengembangan epistemologi. Manusia, dalam konteks ini, tidak saja ditempatkan sebagai subjek yang mengalami dan merumuskan pengetahuan secara nyata dan benar. Lebih dari itu, manusia yang dimaksudkan adalah masyarakat pada posisi sebagai objek dari penyelidikan dan pengembangan epistemologi. Manusia, dalam hal ini, perlu membangun dan mengembangkan suatu pengetahuan yang realistis dan benar, serta dapat dipertanggung-jawabkan. Epistemologi realisme tersebut harus dapat bermanfaat universal, artinya dapat diterima secara umum. Sifatnya holistik untuk semua kalangan dan golongan, tanpa ada batasan-batasan yang menghalangi atau pun mempersempit nilai holistik suatu epistemologi yang realistis.



BAB III
PENUTUP

A.     SIMPULAN

Dari paparan diatas menurut kelompok kami, prinsip-prinsip pengembangan ilmu yaitu: (1) Prinsip humanitas, gambaran nilai-nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang bernilai pada dirinya dalam mewujudkan nilai-nilai universal manusia. (2) Prinsip holistik, kebenaran pengetahuan selalu bersifat intersubjektif. (3) Prinsip tanggung jawab, prinsip yang hendak menunjukkan suatu tahap yang tertinggi dalam pengembangan epistemologi. (4) Prinsip kontekstualisasi, suatu upaya pengembangan epistemologi berdasarkan nilai-nilai budaya masyarakat setempat. (5) Prinsip Kultural, membangun dan mengembangkan suatu pengetahuan yang realistis dan benar, serta dapat dipertanggung-jawabkan

 

B.     SARAN

Sebaiknya penulis selanjutnya menggunakan referensi yang lebih banyak untuk menunjang dan membandingkan isi materi dalam makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA

 

 Bartens, K. (1983). Filsafat Barat Abad XX, Inggris - Jerman. Jakarta: Gramedia.

 Watloly, Aholiab. (2001). Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural. Yogyakarta: Kanisius.


_ _ _ _ _ _ _

_  _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _


Download Makalah Filsafat Prinsip-prinsip Pengembangan Ilmu di sini

Download Presentasi Makalah Filsafat Prinsip-prinsip Pengembangan Ilmu di sini

No comments

Powered by Blogger.