Sejauh Mana Kurikulum di SD Telah Memenuhi Harapan dan Tujuan di Era Tantangan Abad 21
Sejauh Mana Kurikulum di SD Telah Memenuhi Harapan dan Tujuan di Era Tantangan Abad 21
Dewasa ini, sekolah tidak hanya dituntut untuk dapat membekali berbagai macam pengetahuan namun juga dituntut untuk mengembangkan minat dan bakat, membentuk moral dan kepribadian, bahkan dituntut agar anak didik menguasai berbagai keterampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi dunia pekerjaan (Sanjaya, Wina: 2015: 5). Oleh karena itu, Kurikulum dari waktu ke waktu berkembang menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat. Kurikulum dikembangkan berdasarkan dengan pemenuhan tuntutan jaman yang menghendaki sumber daya manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, namun juga memiliki karakter dan menguasai keterampilan Abad 21 yaitu: critical thunking, collaboration, communication, dan creativity. Selain itu, tuntutan lain yang juga mendesak yaitu penguasaan literasi bagi generasi juga menjadi alasan kuat mengapa kurikulum perlu dikembangkan. Jadi, kurikulum dikembangkan sebagai alat untuk menguasakan kemampuan-kemampuan tersebut kepada peserta didik.
Tim PPK Mendikbud (2018: 2) dalam buku Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter untuk tingkat SD dan SMP memaparkan bahwa munculnya pemikiran-pemikiran baru di bidang pendidikan membuat pendidikan di Indonesia perlu dilakukan penataan kembali salah satunya yaitu berdampingan dengan meningkatkan kecerdasan intelektual juga menempatkan kembali karakter-karakter kebangsaan dalam pendidikan. Generasi muda yang berkarakter dan berintelektual dapat menjadi suatu individu yang utuh dan dapar berkembang untuk menghadapi tantangan hidup. Dalam implementasinya karakter-karakter siswa dapat tercermin dalam kompetensi-kompetensi yang dikuasainya selama menempuh pendidikan. Selain itu, penguatan pendidikan karakter bangsa menjadi salah satu butir Nawacita yang dicanangkan Presiden Joko Widodo melalui Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) (Kurniasih H. R., dkk. 2018: 249).
Pendidikan
karakter bagi siswa tidak diselenggaran terpisah layaknya mata pelajaran yang
berdiri sendiri, melainkan terintegerasi dalam proses pembelajaran. Konsekuensinya,
tugas guru tidak hanya sebagai pengembang kurikulum di tingkat pelaksana guru
sebagai pembuat perencanaan pembelajaraan seperti sebelumnya. Saat ini, guru
juga dituntut untuk membuat perencanaan pembelajaraan yang bermuatan pendidikan
karakter. Dimana, guru harus bisa menganalisis nilai-nilai yang terkandung
dalam materi ajar dan memilih metode pembelajaran yang relevan. Tim PPK
Mendikbud (2018: 27)
Namun
begitu, dalam perencanaan pembelajaran, tidak semua guru menyusun RPP sesuai
dengan keadaan lapangan yang dihadapi. Seringkali poin Penguatan Pendidikan
Karakter (PPK) hanya sebagai komponen RPP yang harus ada. Pandangan bahwa
pendidikan menitikberatkan pada aspek intelektual atau kognitif masih dianut
oleh guru-guru yang belum bisa bergerak maju dari kurikulum lama. Sebagian guru
hanya menggunakan RPP yang disalin dari orang lain tanpa melihat apakah
karakter yang ditulis di RPP sesuai dengan keadaan kelasnya. Maka yang terjadi
adalah karakter yang dikuatkan bukan berdasarkan analisis kebutuhan, tetapi
sebaliknya, kebutuhan harus menyesuaikan apa yang tertulis di RPP. Hal tersebut
menjadikan ketidaksesuaian antara materi yang diajarkan, karakter yang
diterapkan, dan metode yang digunakan.
Oleh karena itu dalam pengembangan kurikulum hal yang perlu diperhatikan yaitu bagaiman seorang pendidik mampu bertindak sesuai dengan tugas yang diembannya. Nampaknya terasa salah jika selalu menyalahkan pemerintah atas berbagai reformasi baru dalam pendidikan namun pada praktiknya guru masih kurang kreatif dalam menghadapi masalah. Pada akhirnya, banyak pendapat yang menyatakan bahwa guru juga menjadi salah satu masalah yang harus diperhatikan, padahal alih-alih menjadi sebuah beban baru, seharusnya guru menjadi solusi yang berperan sebagai patner pemerintah dalam memajukan pendidikan.
Tidak hanya diintegrasikan dengan kurikulum, pendidikan karakter juga diintegrasikan dalam manajemen pengelolaan kelas. Di dalam kelasnya guru memiliki kekuasaan penuh. Guru leluasa untuk mendesain pembelajaran dan membangun ekologi belajar dalam lingkup kelas. Guru dapat menguatkan karakter siswa melalui kebiasaan-kebiasaan pembelajaran seperti biasanya. Misalnya, ketika siswa menyimak penjelasan guru dengan tenang, guru telah memperkuat karakater siswa menjadi individu yang saling menghargai. Dalam proses pembelajaran, penguatan-penguatan seperti ini tentu saja dapat dilakukan guru secara reflektif. Guru dapat mengarahkan siswa sesuai kondisi kelas karena pada dasarnya setiap kejadian di kelas tidak bisa diprediksi dengan tepat. Di sinilah diperlukan kemampuan spontanitas guru untuk memberikan umpan baik kepada siswa.
Pengintegrasian
pendidikan karakter juga dapat dilakukan dengan strategi yang tepat dalam pemilihan
penggunaan metode pembelajaran, Guru dengan kemampuan analisisnya harus bisa
memilih metode pembelajaran yang selain secara tidak langsung dapat digunakan
sebagai sarana untuk mennanamkan pembentukan karakater siswa juga bisa membantu
guru dalam dalam menguasakan keterampilan abad-21 4C. Menunjang penguasaan
keterampian 4C tersebut, dalam struktur kurikulum telah dijelaskan bahwa
kurikulum 2013 berlandaskan pada teori belajar konstrutivisme. Siswa tidak
hanya menerima dan memproses pengetahuannya yang diperolehnya namun juga
berperan aktif dalam mengkonstruk pengetahuan serta pengalamannya. Jadi, siswa
tidak memperoleh pengetahuan hanya berdasarkan dari guru saja namun dari
berbagai pengalamannya.
Dengan
begitu, belajar tidak hanya diartikan sebagai perubahan perilaku seperti yang
disampaikan oleh teori behavioristik, belajar juga bukan tidak hanya dimaknai
sebagai proses pemerolehan pengetahuan seperti yang disampaikan teori kognitif,
namun saat ini menurut teori konstruktivisme belajar dimaksanai sebagai proses
pembentukan pengetahuan yang dibawa oleh teori konstruktivisme. Dasar teori
belajar konstruktivisme dapat menunjang penguasaan keterampilan 4C. Sesuai
dengan konsep kurikulum konstruktivisme, muncul beberapa metode pembelajaran
yang relevan untuk penguatan pendidikan karakter serta mengembangkan
keterampilan 4C. Metode pembelajaran tersebut
diantaranya adalah scientific learning,
inquiry/discorvery learning, PjBL, PBL, dan Cooperative learning yang merupakan metode pembelajaran yang
bersifat konstruktivis dalam implementasi kurikulum 2013 (Waseso, H. P. 2018:
70).
Setiap
metode pembelajaran memiliki sintaksnya masing-masing. Namun, dari beberapa
metode pembelajaran tersebut memiliki kesamaan dimana pembelajaran direncanakan
dengan berlandaskan pada aliran konstruktivisme yaitu mengarahkan siswa pada
proses pembentukan pengetahuan sendiri. Pemilihan metode pembelajaran
disesuaikan dengan tujuan pembelajaran dan bisa mengakomondasi penguasaan
keterampilan-keterampilan tertentu bagi siswa. Misalnya, ketika guru ingin
mengembangkan keterampilan siswa dalam berpikir kritis, guru dapat menggunakan
metode PjBL dimana siswa dihadapkan pada permasalah yang harus dipecahkan
(Darmadi, 2017: 127). Atau misalnya guru ingin meningkatkan kemampuan kerjasama
dan komunikasi antar siswa, guru dapat menggunakan metode corporative learning yang memungkinkan siswa bersama temannya untuk
melakukan berdiskusi memecahkan suatu permasalahan (Vioreza, Niken. Dkk. 2020:
59) Adapun untuk penguatan pendidikan karakter yaitu terjadi pada proses
pembelajaran berlangsung dimana guru sebelumnya telah menganalisis karakter apa
yang dapat dikuatkan pada pembelajaran saat itu.
Disinilah
letak pergeseran tugas guru. Biasanya guru menjadi sumber utama pengetahuan
siswa. Pemerolehan pengetahuan siswa yang biasanya hanya dari guru kini tidak
dianggap relevan dengan pendidikan saat ini. Sekarang, fungsi guru adalah
sebagai pengembang kurikulum, pelaksana kurikulum, pengelola kelas,
fasilitator, motivator, dan evaluator. Guru yang masih belum terbiasa dengan
perkembangan kurikulum akhirnya masih mengajar dengan gaya lama, dimana masih
bersifat teacher center akibatnya
siswa tidak bisa mengembangkan kemampuannya secara optimal karena guru masih
mengambil andil besar dalam pembelajaran. Jadi pengetahuan siswa bukan dibentuk
melainkan diperoleh. Apabila guru sebagai pelaksana kurikulum saja tidak tahu
dimana perannya maka keberhasilan pengembangan kurikum ditingkat satuan
pendidikan khususnya di sekolah dasar juga perlu dikhawatirkan. Ketidaktepatan
guru menempatkan diri akan mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran. Oleh
karena itu, guru perlu memahami betul esensi dari kurikulum yang sedang
diterapkan agar pembelajaran yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan
perencanaan.
Selain
melalui metode pembelajaran yang telah dijelaskan sebelumnya pendidikan
penguatan karakter juga dapat diintegrasikan dalam gerakan literasi di sekolah.
Gerakan literasi diartikan sebagai sebuah kegiatan yang bertujuan mengasah
kemampuan siswa dalam hal memahami, mengolah, serta memanfaatkan informasi
untuk digunakan sebagai dasar memecahkan masalah secara kritis dengan
berlandaskan pada kemampuan membaca, menulis, menyimak, dan berbicara untuk
menumbuhkembangkan karakter seseorang menjadi pribadi yang tangguh. Kemampuan
literasi akan memperkuat keterampialn 4C siswa. Literasi tidak hanya sekedar
kemampuan baca tulis namun juga kemampuan siswa untuk mengkomunikasikan
informasi yang diperolehnya dari kegiatan tersebut saat pembelajaran di kelas
maupun ketika berada di luar sekolah.
Karena
pembelajaran berbasis kontrusivisme menekankan pada siswa yang mencari
pengetahuannya sendiri maka diperlukan kemampuan literasi yang baik agar siswa
dapat mengaitkan antara informasi yang diperoleh pada suatu waktu dengan waktu
yang lain. Pada tingkat sekolah dasar, untuk mengasah kemampuan literasi siswa,
guru dapat menyediakan waktu untuk siswa dapat membaca secara individu,
menyimak cerita orang lain, menulis pengalaman, menyampaikan informasi dalam
forum diskusi, dan lain sebagainya. Konsekuensi dari kegiatan ini, sekolah
paling tidak perlu memiliki sarana yang mendukung misalnya sekolah menyediakan
sumber-sumber informasi yang memadai. Misalnya berbagai sumber belajar berupa
buku, koran, surat kabar, atau bahkan jaringan internet. Untuk memaksimalkan
penguasaan literasi pada siswa sekolah perlu menghidupkan kembali perpustakaan,
membentuk pojok baca, menyediakan tempat=tempat khusus bagi siswa agar bisa
fokus membaca.
Banyak
sekolah dasar yang fasilitas perpustakaannya tidak terawat dengan baik sehingga
siswa tidak dapat memanfaatkannya dengan optimal. Selain itu, guru cenderung
kurang memahami konsep dasar dari literasi. Di
sekolah siswa hanya menyediakan pojok buku kemudian membiarkan siswa membaca
buku kemudian melihat kebiasaan siswa hanya berdasarkan lembar monitoring
literasi. Padahal dalam literasi hanya membaca saja tidak cukup, siswa belum
bisa dikatakan literat ketika mereka belum bisa memahami informasi yang
diterima dari buku tersebut. Kurang mampunya siswa memahami isi bacaan menjadi
salah satu penyebab rendahnya nilai PISA Indonesia. Selain itu, ketika siswa
kurang mampu memahami suatu bacaan dan bagaimana menerapkannnya dalam kehidupan
sehari-hari mengindikasikan kurangnya kemampuan HOTS siswa. Oleh Karena itu,
sekali lagi guru perlu memperhatikan aspek-aspek lain yang perlu dikembangkan
dalam diri siswa selain dari kognotif itu sendiri.
Selain
literasi baca tulis seperti yang telah dijelaskan, terdapat beberapa macam lain
jenis literasi dengan fokus yang berbeda. Misalnya literasi digital. Literasi
digital berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat komunikasi
dan memanfaatkannya secara secara bijak. Sekarang siswa sudah memiliki akses
bebas untuk menggunakan internet dan ponsel pintar. Siswa seringkali
memanfaatkan ponsel lebih dari yang seharusnya, hingga mengakibatkan kewajiban
belajarnya menjadi lalai. Daripada guru melarang siswa untuk bermain ponsel
akan lebih baik jika guru memberikan edukasi kepada siswa tentang pentingnya
ponsel dan cara memakai dengan bijak. Kemudian mengarahkan siswa untuk berpikir
kritis akan tindakannya kemudian siswa mampu mengambil keputusan sendiri.
Hal lain
sebagai penunjang tercapainya penguasaan 4C, literasi, dan penguatan pendidikan
karakter yaitu perlunya suatu ekologi sekolah yang mendukung. Kurikulum sendiri
dibuat dengan memberikan rancangan secara garis besar tentang tujuan pendidikan
dan langkah-langkah dalam mencapainya. Dalam rancangannya kurikulum dilakukan
secara procedural. Namun begitu pada implementasinya diperlukan bimbingan
kepada praktisi-praktisi agar dapat melaksanakan kurikulum dengan efektif dan
efisien. Kurikulum bersifat fleksibel. Pada tingkat satuan pendidikan kurikulum
tersebut dapat dimodifikasi untuk disesuaikan dengan keadaan lapangan. Hal yang
perlu diperbaiki yaitu pada pelaksanaan kurikulum guru harus lebih kreatif dan
inovatif dalam melakukan proses belajar mengajar. Karena bagaimanapun,
keberhasilan suatu pendidikan ditentukan oleh bagaimana peran guru dalam
mendidik siswa.
Darmadi. (2017).
Pengembangan Model dan Metode Pembelajaran dalam Dinamika Belajar siswa.
Yogyakarta: Deepublisher
Kurniasih, H. R.,
dkk. (2018). Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Pengembangan Proses
Pembelajaran. Prosiding Seminar dan
Diskusi Nasional Pendidikan Dasar, ISSN: 2528-5564. Program Pascasarjana
Universitas Negeri Jakarta
Sanjaya, Wina. (2015).
Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:
Kencana
Tim PPK Mendikbud.
(2018). Konsep dan Pedoman Penguatan
Pendidikan Karakter untuk tingkat SD dan SMP. Jakarta: Mendikbud
Waseso, H. P.
(2018). Kurikulum 2013 dalam Perspektif Teori Pembelajaran Konstruktivisme. TA’LIM : Jurnal Studi Pendidikan Islam, Vol.1
No.1
Vioreza, Niken,
dkk. (2020). Call For Book Tema 4 (Model
dan Metode Pembelajaran). Surabaya: Jakad Media Publishing
_________
_________________
Terima kasih dan semoga bermanfaat. . .
No comments