Sekilas Tentang Wacana


A.    Pengertian Wacana

Sudayat dalam Maimunah (2016: 30) menjelakan bahawa Istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna “ucapan atau tuturan”. Wacana dipadankan dengan istilah discourse dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa Prancis. Kata tersebut berasal dari bahasa Yunani discursus yang bermakna “berlari ke sana ke mari.” Dalam kamus webster wacana diartikan sebagai komunikasi kata-kata, ekspresi gagasan-gagasan, risalah tulis berupa ceramah pidato dan lain sebagainya. Artinya, wacana tidak hanya dalam bentuk tulisan saja melainkan juga bisa berbentuk lisan. Banyak ahli yang mendefiniskan wacana dalam persektifnya masing-masing. Maimunah (2016: 30) mengartikan wacana sebagai rentetan kalimat yang saling berkaitan dan menghubungkan proporsi yang satu dengan yang lainnya di dalam kesatuan makna (sematis) antar bagian dalam satu bagian di dalam suatu bangun bahasa. Badara, Aris (2014: 16) menutip pendapat badudu yang mengertikan wacana sebagai kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan dan mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata baik disampaikan secara lisan maupun tertulis.

Wacana memiliki kesatuan bahasa yang paling lengkap dalam hierarki gramatikal tertinggi atau terbesar (Rusmawati & Setiawati, 2019: 4). Dikatakan lengkap karena wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh novel, buku, ensiklopedi, paragraf, kalimat, atau kata yang membawa unsur lengkap. Jadi, wacana bukan hanya mengacu pada kaidah gramatikal, melainkan lebih dari itu (Arifin & Junaiyah 2010: 3). Wacana memiliki keserasian hubungan antara satu unsur dengan unsur yang lain dan memilliki kepaduan makna atau proporsi sehingga wacana mengandung suatu ide (Rusmawati & Setiawati, 2019: 4).

Istilah wacana sering digunakan berdampingan dengan istilah teks dan terkadang penggunaan keduanya tumpeng tindih. Terkait ini, terdapat dua pendapat yang berbeda, Pendapat pertama memandang bahwa istilah teks dan wacana memiliki makna yang sama. Pendapat pertama ini bersumber dari pendapat Haliday dan Hasan yang menyebutkan meskipun teks tampak seakan-akan terdiri atas kata-kata dan kalimat, sesungguhnya teks itu terdiri atas makna-makna. Teks pada dasarnya adalah satuan makna, sehingga teks dan wacana adalah dua istilah yang sama maksudny. Pendapat serupa diungkapkan oleh Ricour yang mengatakan bahwa teks adalah wacana berbentuk lisan yang difiksasikan ke dalam bentuk tulisan. Istilah teks lebih dekat pemaknaannya dengan bahasa tulis, dan wacana pada wacana lisan. Jadi perbedaan kedua istilah itu semata-mata terletak pada segi (jalur) pemakaiannya saja.

Pendapat kedua memandang teks dan wacana adalah dua istilah yang berbeda dengan pengertian yang berbeda pula. Seperti yang disebutkan oleh Edmondson bahwa wacana adalah suatu peristiwa berstruktur yang dimanifestasikan dalam prilaku linguistik (yang lainnya), sedangkan teks adalah suatu urutan ekspresi-ekspresi linguistik terstruktur yang membentuk suatu keseluruhan yang membedakan pengertian wacana dari teks berdasarkan pandangan de Saussure yang membedakan langue dan parole. Dikatakan oleh Hoed bahwa wacana adalah bangun teoritis abstrak yang maknanya dikaji dalam kaitannya dengan konteks dan situasi komunikasinya. Yang dimaksud konteks adalah unsur bahasa yang dirujuk oleh suatu ujaran, sedangkan situasi adalah unsur nonbahasa yang dirujuk oleh suatu ujaran. Dengan demikian, wacana ada dalam tataran langue, sedangkan teks adalah realisasi sebuah wacana dan ada pada tataran parole. Brown dan Yule mengungkapkan bahwa teks dipandang sebagai produk yang mengesampingkan pertimbangan teks itu dibangun, sedangkan wacana merupakan suatu proses yang memperhitungkan semua upaya dalam membangun teks demi membangun dan mengungkapkan makna. Jadi dapat disimpulkan jika teks merupakan perwujudan dari sebuah wacana.


B.    Ciri-ciri wacana

Berdasarkan ciri-ciri wacana yang telah disampaikan maka dapat ditarik kesimpulan ciri-ciri wacana sebagai berikut (Rusmawati & Setiawati, 2019: 4).

1.     Memiliki satuan granatikal

2.     Satuan terbesar, tertinggi, atau terlengkap

3.     Memiliki hubungan preposisi

4.     Memiliki hubungan kontinuitas dan berkesinambungan

5.     Memiliki hubungan kohesi dan koherensi

6.     Medianya dapat melalui lisan maupun tulis

7.     Sesuau dengan konteks

Selanjutnya, (Arifin & Junaiyah 2010: 3). Memberikan contoh yang memberdakan suatu teks yang membedakan antara wacana dan bukan wacana jika dilihat dari ada tidaknya ciri-ciri tersebut dalam suatu sususan teks tersebut.

Contoh di atas merupakan wacana karena memiliki makna kalimat yang utuh, urutan kalimatnya teratur dan memiliki makna sehingga dapat dipahami maksudnya. Sesuai konteks yaitu diucapkan ditempat yang sesuai dan penjual maupun pembeli sama- sama memahami artu ucapan. Bedakan dengan contoh dibawah ini.



Pada contoh 3a memiliki kalimat yang utuh namun tidak bisa dipahami oleh lawan bicara. Tuturannya pun tidak sesuai konteks dalam keadaan jual beli gado-gado namun hanya sembarangan menanyai orang yang kebetulan melintas. Tidak ada makna yang bisa ditangkap dari percakapan tersebut sehingga tidak memenuhi syarat sebagai wacana. Contoh lain sebagai berikut.

Pada contoh 3b makna pada setiap kalimat jelas, manun tidak saling berkaitan. Tidak dapat disimpulkan dengan jelas gagasan apa yang hendak disampaikan oleh kalimat-kalimat tersebut. Antar kalimatnya berdiri sendiri, ntidak kontinu, dan tidak berkesinambungan untuk menyampaikan suatu makna yang utuh. Dikatakan bahwa wacana dalam bentuk bahasa tulis berupa kata, kalimat, paragraf, karangan yang utuh, seperti buku atau artikel yang berisi amanat yang lengkap.

 

C.    Tujuan Wacana

Wacana mengandung gagasan-gagasan tertentu yang disampaikan melalui lisan maupun tulisan. Wacana bertujuan untuk mengomunikasikan gagasan-gagasan tersebut sehingga dapat dipahami oleh pendengar, penyimak, atau pembacanya. Tujuan yang ingin dicapai dalam sebuah wacana dipengaruhi dan ditentukan oleh kebutuhan dasar manusia. Charlina dan Shiroya dalam Rusmawati & Setiawati, (2019: 5) lebih lanjut, Rusmawati & Setiawati, (2019: 5) menjelaskan jika tujuan wacana menurut kebutuhan dasar manusia dibagi menjadi empat, yaitu: memberikan informasi, meyakinkan, menggambarkan, dan memaparkan atau menceritakan. Setiap kebutuhan dasar tersebut mempengaruhi corak sebuah wacana yang secara mendasar tergambar dalam keseluruhan bentuk wacana.

 

D.    Fungsi Wacana

Fungsi wacana tidak bisa dipisahkan dari fungsi bahasa. Di dalam wacana terdapat gagasan-gagasan yang disampaikan dalam bentuk utuh melalui bahasa. Dilihat dari segi bahasa, fungsi wacana yaitu:

  • Wacana ekspresif, yaitu fungsi wacana untuk mengekspresikan emosi, keinginan, atau perasaab penyampai pesan.
  • Wacana fatis, yaitu fungsi wacana untuk memperlancar komunikasi
  • Wacana informasional, yaitu fungsi wacana sebagai media penyampai informasi atau pesan
  • Wacana estetik, yaitu fungsi wacana sebagai penyampai keindahan (puitis)
  • Wacana direktif, yaitu fungsi wacana untuk membuat pendengar melakukan sesuatu seperti memberi keterangan, mengundang, memerintah, memesan, mengingatkan, mengancam, dan sebagainya.

E.    Unsur Wacana

Hayon, Josep (2017:44) membagi unsur-unsur wacana menjadi dua bagian utama, yaitu unsur bahasa dan nonbahasa.

1.     Unsur Bahasa

      a.   Kata dan kalimat

Kata merupakan bagian dari kalimat yang membangun suatu pengertian yang utuh dan selesa. Jika dilisankan, sebuah kalimat diakhiri dengan sebuah intonasi final. Kata atau kalimat yang berkedudukan sebagai wacana harus memiliki makna yang lengkap, informasi, dan konteksnya jelas untuk mendukung sebuah tuturan yang utuh. Kalimat biasanya berisi pernyataan, pikiran, perasaan, atau pengalaman yang lengkap dan masuk akal. Kalimat juga merupakan ucapan bahasa yang memiliki arti penuh dan bebas, yang seluruhnya ditentukan oleh intonasi (kalimat lisan).

Di dalam sebuah wacana, setiap kalimat merupakan bagian dari wacana itu. Meskipun bisa berdiri sendiri, kalimat tersebut terikat karena antar kalimat terdapat pertalian makna. Sebagai kalimat, kalimat bisa berdiri sendiri. Namun, sebagai wacana, makna kalimat harus memiliki keterkaitan. Misalnya:



Kalimat di atas merupakan penutup yang biasa dipakai dalam surat. Tidak mungkin kalimat tersebut berdiri sendiri tanpa ada kaitannya dengan kalimat- kalimat sebelumnya. Kelihatannya kalimat tersebut berdiri sendiri, namun sebenarnya kalimat tersebut merupakan bagian dari suatu unit yang lebih besar, yaitu kalimat yang tidak terucapkan tetapi ada pada pikiran pembaca atau pendengar. Oleh karena itu, walapun kalimatnya seakan berdiri sendiri, namun maknanya dapat dipahami secara utuh.

Bedakan dengan kalimat berikut.


 

Kalimat pendek tersebut benar strukturnya dan jelas maknanya. Namun, dari segi wacana, masih banyak yang perlu diungkapkan. Misalnya dia yang dimaksudkan itu siapa? Apa indikator sehingga dia dianggap anak baik, kapan kalimat itu diucapkan, dan apa penyebab hingga kalimat itu diucapkan. Kalimat tersebut memunculkaan banyak pertanyaan yang membuktikan bahwa informasi dari kalimat tersebut belum lengkap. Bisa jadi kalimat tersebut terhubung dengan kalimat sebelumnya atau selanjutnya. Jadi, sebuah kalimat pasti muncul karena ada penyebabnya dan hal itu saling berkaitan agar diperoleh makna yang utuh.

 b.     Paragraf

Paragraf merupakan satuan terbesar di dalam sebuah wacana. Paragraf adalah kesatuan informasi yang lengkap, utuh, dan selesai. Artinya, paragraf sudah merupakan sebuah karangan terbatas yang utuh. Paragraf itulah yang kemudian dukung mendukung menjadi sebuah wacana. Paragraf pada dasarnya adalah kumpulan kalimat yang saling berkaitan karena menjelaskan satu ide pokok. Ide pokok itu, dirinci kebagian-bagian lainnya. Bagian-bagian itu disebut ide penjelas. Jadi, ide penjelas dituangkan jadi satu kalimat. Kalimat-kalimat penjelas harus mendukung kalimat utama, karena dalam satu paragraf antar kalimatnya harus membentuk satu kesatuan.

Selain syarat kesatuan, sebuah paragraf juga memiliki syarat kohorensi atau kepaduan. Kepaduan ini diperoleh melalui hubungan timbal balik antara unsur- unsur pembentuk kalimat dan antara kalimat dengan kalimat. Untuk memperoleh kepaduan diperlukan alat-alat kohesif (pengulangan kata, penggantian kata dan penggunaan kata).

Paragraf di atas terdiri dari enam kalimat. Jika diperhatikan hanya kalimat (a) sampai (d) yang membicarakan gagasan pokok tetapi kalimat (e) dan (f) keluar dari gagasan utama. Maka dapat disimpulkan sebagai wacana, paragraf di atas belum memenuhi syarat, karena antar kalimatnya tidak berkesinambungan

2.     Unsur Nonbahasa

      a.   Konteks Situasional

1)                                               1)   Partisipan

Konteks dapat mempengaruhi makna dalam sebuah wacana. Dalam wacana terdapat partisipan yang berupa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, penulis dan pembaca. Setiap partisipan dan pasangannya memiliki hubungan pribadi dan dinas, serta situasi sosial. Hubungan-hubungan itu akan terlihat dalam pemilihan bahasa atau kata-kata dalam wacana.

 


Ujuran pada contoh (1) terjadi antara pembeli dan penjual mie dengan konteks hubungan mereka terjalin akrab. Sapaan mas menunjukan keakraban. Contoh (2) adalah wacana tulis yang meminta siapa saja tidak terkecuali untuk tidak membuat keributan di tempat itu. Contoh (3) dibuat tidak ada penjaga yang selalu mengujarkan hal yang sama kepada setiap orang yang berada di tempat ujian. Sedangankan contoh (4) adalah wacana tulis dalam sebuah buku.

2)                                       2)    tempat waktu

Tempat dan waktu menunjukan situasi resmi dan santai. Jika wacana terjadi pada tempat dan waktu yang jelas menunjukan situasi resmi, maka hubungan antara penyapa dan pesapa menjadi hubungan dinas. Suasana akan terasa lebih resmi dan kurang akrab. Sebaliknya, keduanya akan merasakan suasana lain bila tempat dan waktu menunjukkan hubungan pribadi, suasananya akan lebih akrab.

3)                                           2)   Topik

Topik dapat memperlancar suatu interaksi. Topik dapat bersifat sangat umum, yang dapat menduduki posisi paling atas dalam suatu kerangka pemikiran. Dalam wacana lisan, topik bisa bersifat sangat umum sehingga setiap pertisipan dapat mengajukan topik yang lebih rinci / sub topik dari topik yang sama. Sedangkan dalam wacana tulis, topik biasanya sudah di batasi. Saluran atau alat untuk menyampaikan informasI. Biasanya orang menggunkan dua saluran lisan dan tulis.

5)                                            3) Kode

Kode merupakan bahasa apa yang digunakan untuk berinteraksi. Di

Indonesia dengan bahasa yang majemuk diperlukan satu kode yang dipahami semua orang. Dalam wacana tulis, khususnya buku paling sering digunakan bahasa nasional yang resmi yaitu bahasa Indonesia.

6)                                           4)  Bentuk pesan

Pesan juga menjadi unsur dari suatu konteks. Dalam wacana lisan, pesan yang penting dapat memgambil bentuk tertentu, apakah dalam bentuk kiasan, syair, dan peri bahasa. Dalam wacana tulis, pesan yang penting akan terlihat pada unsur-unsur kebahasaan. Ada yang menempatkannya pada bagian awal kalimat atau akhir kalimat.

7)                                             5) Peristiwa

Unsur konteks berikutnya adalah peristiwa. Misalnya, pertemuan keluarga selalu diakhiri dengan yang santai dan lelucon. Lain halnya dengan upacara kematian, arisan, dan peristiwa-peristiwa lainnya, masing-masing memiliki sifat yang khas.

8)                                          6)   Nada bicara

Pembicaraan yang serius, sinis, merayu, membujuk juga menjadi unsur konteks seorang ibu yang membujuk anaknya akan berbeda nada suaranya bila disbanding dengan sedang memarahi anaknya.

9)                                           7)  Genre

Unsur konteks yang terakhir adalah genre, seperti pantun, puisi, umpatan, lelucon, ungkapan iklan, surat, buku, dan lain-lain. Makna dari suatu wacana dapat diinterpretasikan berdasarkan konteks itu.

b.   Implikatur

Menurut Grice dalam Rusmawati dan Setiawati (2019: 11) implikaur merupakan sebuah ujaran yang menyiratkan suatu yang berbeda dengan apa yang sebenarnya diucapkan oleh pembicara. Sesuatu yang berbeda tersebut merupakan maksud dari pembicara yang tidak diucapkan secara eksplisit. Jadi, implikatur merupakan makusd, keinginan, atau ungkapan harti yang tidak diungkapkan. Di bidang wacana, implikatur berarti sesuatu yang terlibat atau menjadi bahan bahan pembicaraan dimana implikatur berfungsi sebagai penghubung antara “yang diucapkan” dan “yang diimplikasikan” (Arifin & Junaiyah, 2010: 11).

                    Contohnya:


Dialog yang mengandung implikatur seperti di atas selalu berkaitan dengan penafsiran. Jika dialog tersebut dilakukan dengan cara verbal, implikatur biasanya sudah diketahui oleh teman berbicara, tidak perlu dieksplisitkan, justru disembunyikan agar yang diimplikasikan itu tidak mencolok. Kata “Biasa” yang dituturkan oleh (N) pastilah diketahui oleh (W) karena keduanya telah akrab. Sementara bagi orang lain yang belum mengetahui hubungan keduanya, sulit memahami  karena  tuturan  keduanya  tidak  saling  berhubungan. Lazimnya, pertanyaan Kemana merujuk pada jawaban yang menunjukkan tempat. Karena keduanya telah mengetahui kebiasaan satu sama lain, jadi tututan tersebut memuliki makna tertentu. Misalnya pada saat itu, (N) biasanya pergi bekerja atau ke pasar.

c.   Presuposisi atau pranggapan

Setiap pernyataan memiliki praanggapan, yaitu rujukan atau referensi dasar. Rujukan tersebut dapat menyatakan apakah ungkapan yang dinyatakan dapat dimengerti oleh lawan bicara, sehingga komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Praanggapan merupakan anggapan dasar atau penyimpulan dasar tentang konteks dan situasi bahasa yang menjadikan bahasa bermakna bagi para pembaca. Dapat dikatakan bahwa praanggapan merupakan pengetahuan bersama antara pembicara dan pendengar atau penulis dan pembaca sehingga pengetahuan tidak perlu diutarakan.

                        Contoh:

Eka hanya menyampaikan kalimat berita dan tidak perlu menanyakan kepada Anna apakah Anna mau ikut ke Bali namun Anna bisa langsung menjawab jika dirinya tidak bisa ikut. Hal tersebut bisa diasumsikan jika Anna sebelumnya sudah mengetahui apabila Eka akan pergi ke Bali.

Praanggapan bisa terbentuk jika antar yang terlibat dalam tuturan telah mempunyai hubungan yang akrab. Semakin akrab hubungan antara keduanya semakin banyak praangapan yang terbentuk sehingga semakin banyak mereka menggunakan interaksi tersirat (implikatur).

d.   Inferensi

Simpulan atau inferensi biasanya dibuat sendiri oleh pendengar atau pembaca. Karena disimpulkan menurut pemahamannya sendiri maka belum tentu apa yang ditanggap merupakan benar apa yang disampaikan oleh penutur. Simpulan merupakn proses pembaca atau pendengar menangkap makna yang tidak terungkapkan secara harfiah dalam suatu percakapan dalam sebuah wacana.


F.    Macam-macam Wacana

1.     Menurut Media Komunikasi Wacana

a.     Wacana lisan dapat berupa

Wacana lisan (spoken discourse) adalah jenis wacana yang disampaikan secara lisan atau langsung dalam bahasa verbal. Jenis wacana ini sering disebut sebagai tuturan (speech) atau ujaran (utterance). Adanya kenyataan bahwa pada dasarnya bahasa kali pertama lahir melalui mulut atau lisan. Oleh karena itu, wacana yang paling utama, primer, dan sebenarnya adalah wacana lisan. Kajian yang sungguh-sungguh terhadap wacana pun seharusnya menjadikan wacana lisan sebagai sasaran penelitian yang paling utama. Tentunya, dalam posisi ini wacana tulis dianggap sebagai bentuk turunan (duplikasi) semata

1)   Sebuah percakapan atau dialog yang lengkap dari awal sampai akhir, misalnya obrolan di warung kopi

2)    Suatu penggalan ikatan percakapan (rangkaian percakapan yang lengkap), biasanya memuat: gambaran situasi, maksud, dan rangkaian penggunaan bahasa.

Wacana lisan memiliki kelebihan dibanding wacana tulis. Beberapa kelebihan wacana lisan di antaranya ialah:

       1)    Bersifat alami (natural) dan langsung.

       2)    Mengandung unsur-unsur prosodi bahasa (lagu, intonasi).

       3)    Memiliki sifat suprasentensial (di atas struktur kalimat).

       4)    Berlatar belakang konteks situasional.

b.     Wacana dengan media komunikasi tulis berupa:

Wacana tulis (written discourse) adalah jenis wacana yang disampaikan melalui tulisan. Berbagai bentuk wacana sebenarnya dapat dipresentasikan atau direalisasikan melalui tulisan. Sampai saat ini, tulisan masih merupakan media yang sangat efektif dan efisian untuk menyampaikan berbagai gagasan, wawasan, ilmu pengetahuan, atau apapun yang dapat mewakili kreativitas manusia.

Wacana tulis sering dipertukarkan maknanya dengan teks atau naskah. Namun, untuk kepentingan bidang kajian wacana yang tampaknya terus berusaha menjadi disiplin ilmu yang mandiri. Kedua istilah tersebut kurang mendapat tempat dalam kajian wacana. Apalagi istilah teks atau naskah tampaknya hanya berorientasi pada huruf (graf) sedangkan gambar tidak termasuk didalamnya. Padahal gambar atau lukisan dapat dimasukkan pula kedalam jenis wacana tulis (gambar). Sebagaiman dikatakan Hari Mukti Kridalaksana. wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap, yang dalam hirarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf atau karangan yang utuh (buku, novel, ensiklopedia, dan lain-lain) yang membawa amanat yang lengkap dan cukup jelas berorientasi pada jenis wacana tulis.

Contoh wacana tulis yaitu dengan melihat hubungan antara penulis dengan pembaca melalui penulisan-penulisan yang disampaikan sama ada melalui akhbar, novel, rencana, sajak, teks ilmiah dan bukan ilmiah dan sebagainya. Pembaca seharusnya mampu mendemonstrasikan penguasaan terhadap isi tekstual dengan beralih semula kepada teks yang berkenaan.

        • Sebuah teks atau bahan tertulis yang dibentuk oleh lebih dari satu alinea yang mengungkapkan sesuatu secara beruntun dan utuh, misalnya sepucuk surat, sekelumit cerita, sepenggal uraian ilmiah, dan esai.
        • Sebuah alinea, merupakan wacana, apabila teks hanya terdiri dari atas sebuah alinea, dapat dianggap sebagai bentuk kesatuan misi korelasi dan situasi yang utuh.
        • Sebuah wacana (khusus bahasa Indonesia) mungkin dapat dibentuk oleh sebuah kalimat majemuk dengan subordinasi dan koordinasi atau sistem elipsis.
        •  Wujud wacana lisan yang dituliskan seperti terdapat pada wawancara yang ditulis dalam surat kabar.

2.     Berdasarkan cara pemaparannya, wacana dapat dibedakan atas wacana naratif,         prosedural, hortatori, ekspositori, dramatik, epistoleri, serimonial dan deskriptif                      (Djajasudarma dalam Charlina dan Mangatur Sinaga 2006:25)

a.     Wacana Naratif

Wacana naratif adalah rangkaian tuturan yang menceritakan atau menyajikan hal atau kejadian (peristiwa) melalui penonjolan pelaku (persona I atau III). Isinya ditunjukkan ke arah memperluas pengetahuan pendengar atau pembaca. Kekuatan wacana ini terletak pada urutan cerita berdasarkan waktu, cara-cara bercerita, atau aturan alur (plot)

Wacana naratif berusaha menyampaikan serangkaian kejadian menurut urutan terjadinya (kronologis), dengan maksud memberi arti kepada sebuah atau rentetan kejadian, sehingga pembaca dapat memetik hikmah dari cerita itu. Dengan kata lain, wacana naratif mencoba memnuhi keingintahuan pembaca yang selalu bertanya, “Apa yang terjadi?

 Dengan demikian wacana jenis ini tidak bermaksud untuk mempengaruhi seseorang melainkan hanya menceritakan sesuatu kejadian yang telah disaksikan, dialamin dan didengar oleh pengarang (penulisnya). Narasi dapat bersifat fakta atau fiksi (cerita rekaan). Narasi yang bersifat fakta, antara lain biografi dan autobiografi, sedangkan yang berupa fiksi diantaranya  cerpen dan novel.

Contoh wacana narasi :

Kegiatan disekolahku demikian padatnya. Setiap hari, aku masuk pukul

07.00. Agar tidak terlambat, aku selalu bangun pukul 04.30. Setelah mandi, akupun shalat subuh. Kemudian, aku segera mengenakan seragam sekolah. Tak lupa aku lihat-lihat lagi buku yang harus aku bawa. Yah, sekedar mengecek apakah buku-buku yang aku bawa sudah sesuai dengan jadwal pelajaran hari itu. Selanjutnya, aku makan pagi. Lalu, kira-kira pukul 06.00, aku berangkat ke sekolah. Seperti biasanya, aku ke sekolah naik angkutan umum. Jarak rumah dengan sekolahku tidak jauh, sekitar enam kilometer. Aku memang membiasakan berangkat pagi-pagi. Maklum, angkutan kota sering berhenti lama untuk mencari penumpang. Jika aku berangkat agak siang, wah, bisa terlambat sampai di sekolah.

b.     Wacana Prosedural

Wacana prosedural dipaparkan dengan rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu secara berurutan dan secara kronologis. Wacana ini disusun untuk menjawab pertanyaan bagaimana suatu peristiwa atau pekerjaan yang dilakukan atau dialami, atau bagaimana cara mengerjakan atau menghasilkan sesuatu (Charlina dan Mangatur Sinaga 2006:25). Wacana prosedural merupakan rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu secara berurutan yang tidak boleh dibolak-balik unsurnya, karena urgensi unsur yang lebih dahulu menjadi landasan unsur berikutnya. Wacana itu biasanya disusun untuk menjawab pertanyaan bagaimana mengerjakan sesuatu, misalnya membuat kue, mempersiapkan makanan, perawatan tanaman, merawat alat-alat rumah tangga yang memerlukan prosedur atau mengaktifkan komputer. Wacana prosedural digunakan untuk memberikan petunjuk atau keterangan bagaimana sesuatu harus dilaksanakan.

Oleh karena itu, kalimat-kalimatnya berisi persyaratan atau aturan tertentu agar tujuan kegiatan tertentu itu berhasil dengan baik. 

Cmembuat Martabak Manis

Bahan-bahan

250 gram tepung terigu; 375 cc santan, hangatkan sebentar; 150 gram gula pasir; 2 butir telur 1 sendok the gist/ragi instant; ¼ sendok the soda kue;50 gram kacang tanah (sangrai, kupas, cincang); 50 gram biji wijen, sangrai; 50 gram coklat/meisjes;50 cc susu kental manis.

Cara mengolah

1)   Masukkan ragi ke dalam santang hangat, aduk sampai larut dan berbusa, sisihkan.

2)  Campur tepung terigu dengan gula, buat lubang ditengahnya, lalu isi dengan telur.

3)   Aduk sambil dituangi larutan santan sampai rata dan gula larut.

4)  Masukkan soda kue, aduk kembali, biarkan sekitar 15 menit di tempat hangat.

5)   Panaskan penggorengan,olesi dengan margarine.

6)  Tuang adonan, tunggu sampai naik.

7)   Sebelum permukaanya mongering, taburi dengan sebagian kacang tanah, wijen, gula pasir , coklat/meisjes, dan susu kental manis.

8)  Lipat menjadi dua, angkat.

9)  Sajikan hangat.

c.     Wacana Hortatorik

Wacana hortatorik adalah tuturan yang berisi ajakan atau nasihat. Tuturan dapat pula berisi ekspresi yang memperkuat keputusan untuk lebih meyakinkan. Wacana itu digunakan untuk mengajak pendengar atau pembaca agar terpikat akan suatu pendapat yang dikemukakan. Isi wacana itu selalu berusaha membawa pembaca untuk menyetujui pendapat dengan contoh, berbentuk perbandingan, uraian kronologis, dan identifikasi dengan orientasi secara terperinci mengenai materi yang dijelaskan (Charlina dan Mangatur Sinaga 2006:31).

Wacana hortatori digunakan untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca agar tertarik terhadap pendapat yang dikemukakan. Sifatnya persuasif. Tujuannya adalah mencari pengikut/penganut agar bersedia melakukan, atau paling tidak menyetujui, pada hal yang disampaikan dalam wacana tersebut.Contoh:

Wacana hortatori bidang pendidikan :

“Mendidik agar anak berjiwa mandiri memang menjadi tantangan tersulit, apalagi banyak anak didik kita yang tumbuh dalam rutinitas. Mereka rutin berangkat kesekolah, rutin mendengar keterangan guru, mengerjakan setumpuk PR, berbaju seragam, dan rutin “diperiksa” membaca buku paket yang belum tentu menarik. Akibatnya, kreatifitas mereka pun menjadi rutin dan tidak optimal.

                    d.     Wacana Ekspositori

Wacana ekspositori bersifat menjelaskan sesuatu secara informatif. Bahasa yang digunakan cenderung denotatif dan rasional. Yang termasuk dalam wacana ini adalah ceramah ilmiah, artikel di media massa. Contoh:

Mau Mudah Dapat Kerja

Perinsip “yang unggul, yang mahal” berlaku bagi dunia kerja. Pekerjaan unggul mudah mendapat kemudahan karena memiliki criteria prima. Biasanya daya kerjanya tinggi, penuh tanggung jawab, tekun, hemat waktu, produktif, dapat berkomunikasi dengan baik, tidak bertele-tele, ahli terampil, jujur, profesionalismenya, memiliki inisiatif dan kreasi tinggi, dapat bekerja dalam tim, tidak egois, dan tidak merasa paling biasa.

e.     Wacana Dramatik

Wacana dramatik adalah bentuk wacana yang berisi percakapan antar penutur. Sedapat mungkin menghindari atau meminimalkan sifat narasi di didalamnya. Contoh teks dramatik adalah skenario film/sinetron, pentas wayang orang, ketoprak, sandiwara, dan sejenisnya.

Contoh wacana dramatik:

Ibu : Anakku, kamu sudah dewasa. Apalagi sekarang ini ibu sudah tua. 

Anak : Maksud ibu?

Ibu : Ibu ingin segera punya cucu. Ibu ingin sekali menjadi nenek. Kamu harus segera mencari istri.

Anak : Saya kan belum punya pekerjaan tetap, Bu! Bagaimana nanti saya menghidupi istri dan anak-anak saya.

Ibu : Tidak usah khawatir. Ibu ada tabungan yang cukup buat kamu buka usaha. Tapi kamu harus pandai cari tambahan modal. Terima ini.

Anak : Terimakasih, Bu.

Wacana dramatik menyangkut beberapa orang penutur (persona) dan sedikit bagian naratif. Pentas drama merupakan wacana dramatik.

f.      Wacana Epistoleri

Wacana epistoleri biasa dipergunakan dalam surat-menyurat. Pada umumnya memiliki bentuk dan sistem tertentu yang sudah menjadi kebiasaan atau aturan. Secara keseluruhan, bagian wacana ini diawali oleh alinea pembuka, dilanjutkan bagian isi, dan diakhiri alinea penutup.

Contohnya:

Kepada ayah dan ibu beribu-ribu rasa kangen ananda disini. Rasa ingin berjumpa dan memeluk tidak dapat ananda pungkiri.

Ayah, ibu ananda sebentar lagi akan menempuh ujian. Ananda meminta maaf atas kesalahan ananda pada ibu dan ayah. Maaf ananda tidak bisa langsung mencium tanggan ayah dan ibu untuk minta maaf karena jarak yang jauh yang menghalangi. Ananda hanya bisa kirim surat untuk minta maaf dan minta doa dari ayah dan ibu serta keluarga. Terakhir, salam sayang terkasih kepada ibu dan ayah tercinta. Semoga Allah selalu menjaga ayah dan ibu.

g.     Wacana Serimonial

Wacana seremonial adalah bentuk wacana yang digunakan dalam kesempatan semonial (upacara). Karena erat kaitannya dengan konteks situasi dan kondisi yang terjadi dalam seremoni, maka wacana ini tidak digunakan di sembarang waktu. Inilah bentuk wacana yang dinilai khas dan khusus dalam Bahasa Jawa. Wacana ini umumnya tercipta kerena tersedianya konteks sosio- kultural yang melatarbelakanginya. Secara keseluruhan, teks wacana seremonial terdiri dari alinea pembuka, dilanjutkan isi, dan diakhiri alinea penutup. Contoh wacana ini adalah pidato dalam upacara peringatan hari-hari besar, upacara pernikahan (Jawa: tanggap wacana manten).”

Contoh:

“Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara sekalian yang saya hormati, saya mengucapkan selamat datang dan terimakasih kepada Anda sekalian atas kehadiran Anda untuk datang memenuhi undangan kami. Pada kesempatan ini saya dan keluarga ingin berbagi sukacita karena pada hari ini kami menikahkan anak kami Riko dan Rini Acara akad nikah sudah dilangsungkan tadi pagi di hadapan anggota keluarga kedua menpelai. Untuk itu, kami mohon doa restu Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara sekalian untuk kebahagian kedua anak kami semoga pernikahan mereka langgeng samapai akhir hayat dan diberi Yang Maha Kuasa anak-anak yang saleh. Amin.

Akhirnya, kami berharap Anda smua merasa nyaman di dalam acara ini. Jika di dalam menerima Anda semua terdapat kekeliruan atau ada yang kurang berkenan, kami mohon maaf yang seluas-luasnya. Terima kasih.


                    h.     Wacana Deskriptif

Wacana deskriptif dapat berupa rangkaian tuturan yang memaparkan sesuatu atau melukiskan sesuatu, baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan penuturnya. Wacana ini bertujuan mencapai penghayatan yang imajinatif terhadap sesuatu sehingga pendengar atau pembaca seolah-olah merasakan atau mengalami sendiri secara langsung. Pemaparan wacana ini ada yang bersifat objektif dan ada pula yang imajinatif. Pemaparan objektif menginformasikan sebagaimana adanya, sedangkan pemaparan imajinatif berisi khayalan yang berupa novel, cerpen, atau karya sastra lainnya.

 

Daftar Pustaka

Badara, Aris. 2014. Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapan pada Wacana Media.

Jakarta: Kencana.

Maimunah. 2016. Wacana Keagamaan dan Perilaku Sosial Masyarakat Melayu Perantauan di Palembang. Pamekasan: Duta Media Publishing

Rusmawati & Setiawati. 2019. Analisis Wacana: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Malang: UB Press

Hayon, Josep. 2007. Membaca dan Menulis Wacana: Petunjuk Praktis Bagi Mahasiswa.

Jakarta: Grasindo

Zaenal, E. Arifin & Junaiyah. 2010. Keutuhan Wacana. Jakarta: Grasindo


- - - - - - - - - 

 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


Terimkasih...

Semoga bermanfaat dan jangan lupa komentar dan ikuti media sosial kami

No comments

Powered by Blogger.